Facebook

Kamis, 25 Februari 2016

Catatan Perjalanan: Ngaleut Batu Karut-Arjasari-Ciparay




Hari Minggu (21/02/2012) yang lalu, seperti biasa saya menghilangkan penat dari kehidupan sehari-hari melalui kegiatan Ngaleut bersama Komunitas Aleut. Ngaleut kali ini pun membuat saya bersemangat karena Ngaleut kali ini momotoran lagi! Wuhu~

Hawa panas dan macet kami rasakan di sepanjang perjalanan, sempat pula kami beberapa kali salah mengambil belokan karena sudah lupa arah, tapi berbekal tunya-tanya pada warga sekitar dan ingatan yang tipis, kami berhasil sampai di Situs Budaya Bumi Alit Kabuyutan, berlokasi di perbatasan Batukarut dan Lebakwangi, Arjasari, Kab. Bandung. Letaknya yang berada di pinggir jalan dan plang informasi yang terpampang jelas membuat kami sampai dengan selamat. 

Letaknya plang informasi di pinggir jalan, perhatikan saja sisi kanan jalan (Dari arah Batu Karut)

Ini pertama kalinya saya mengunjungi Bumi Alit Kabuyutan. Berdasarkan hasil googling kesana kemari, baru saya tahu kalau Bumi Alit merupakan sebuah situs peninggalan adat Sunda yang kental dengan aturan agama Islam, dan di dalamnya terdapat berbagai macam pepohonan berusia ratusan tahun, sebuah Bale besar, dan sebuah rumah kecil yang terbuat dari bilik bambu. Dari hasil ngobrol singkat dengan kuncen Bumi Alit, saya diberitahu bahwa rumah bilik ini adalah bangunan utama dan tertua di Bumi Alit. Berbeda dengan Bale terbuka yang sudah diperluas dan dijadikan tempat berkumpul masyarakat saat Maulid Nabi, rumah bilik ini tertutup dan hanya para sepuh saja yang diperkenankan masuk ke dalam. Di dalam rumah ini terdapat perabot dapur dan perkakas perang jaman dulu seperti keris, pedang, tumbak, kujang, badi dan sumbul, yang dibawa oleh para leluhur Lebakwangi ke tanah tersebut. Di Bumi Alit ini pula terdapat sebuah gamelan tua yang diperkirakan berusia lebih dari 300 tahun, yang hanya dikeluarkan dan dimainkan di saat tertentu saja (contohnya Maulid Nabi). Gamelan itu dinamakan Gamelan Embah Bandong dan disimpan dengan sangat hati-hati oleh sesepuh yang rumahnya tidak begitu jauh dari lokasi situs Bumi Alit. 

Bale Masyarakat
Rumah Bumi Alit Kabuyutan

Selain itu, terdapat berbagai macam papan yang bertuliskan petuah mengenai kehidupan beragama dan sosial. Pesan-pesan yang tertuang dalam tulisan tersebut memiliki arti yang dalam, membuat hati saya sedikit merengut saban membaca tulisan-tulisan tersebut. Selain mendapatkan penjelasan mengenai rumah Bumi Alit dan pesan-pesan indah itu, saya dipersilahkan untuk memotret peta letak makam leluhur Lebakwangi dari dekat. Bapak kuncen menjelaskan letak tiap makam dan bagaimana masyarakat sering berkunjung untuk ziarah ke makam-makam tersebut.

5 Pra-Satia, pedoman hidup masyarakat Bumi Alit Kabuyutan

Setelah puas mengobrol dengan bapa kuncen dan memotret isi situs Bumi Alit, kami melanjutkan perjalanan ke bekas perkebunan teh dan kina Arjasari, perkebunan teh pertama di Priangan yang dikelola oleh salah seorang Preangerplanters, R.A. Kerkhoven, sebelum akhirnya dikalahkan oleh perkebunan teh lainnya seperti Gambung. 

Saat melintasi daerah bekas perkebunan teh dan kina Arjasari, saya kira saya dapat melihat paling tidak sisa perkebunan teh barang satu atau dua hektar, atau mungkin pabrik teh dan kinanya mungkin. Tapi kenyataan memperlihatkan saya pada luasnya areal sawah dan ladang jagung yang menyebar luas di wilayah pegunungan dan perbukitan Arjasari. Tak ada bekas perkebunan teh sama sekali. Sangat disayangkan. 

Sisa perkebunan Arjasari yang seluruhnya sudah menjadi ladang, contohnya ladang jagung ini

Tak ada peninggalan pabrik, rumah admin pun jadi. Saat berkeliling mencari rumah admin perkebunan Arjasari, kami bertemu dengan penduduk setempat yang dengan baik hati mengantar kami menuju bekas rumah admin. Lagi-lagi disayangkan, rumah admin Arjasari sudah direnovasi beberapa kali sehingga arsitektur aslinya sudah tidak terlihat sama sekali. Setelah dinasionalisasikan pada tahun 1957, perkebunan teh dan kina Arjasari menjadi perkebunan sereh, dengan gudang yang berada tepat di belakang rumah admin ini.

Bekas rumah admin perkebunan Arjasari, sudah tak ada sisa keasliannya lagi

Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju situs Bukit Cula, letaknya ada di Gunung Leutik, tidak jauh dari terminal Ciparay. Yang menjadi penanda situs Bukit Cula ini adalah bebatuan besar di lereng bukit yang berwarna hitam legam. Selain itu terdapat pula Monumen Culanagara dan sebuah papan yang berisi informasi administratif mengenai Situs Bukit Cula. Berdasarkan beberapa literature, Bukit Cula merupakan salah satu lokasi jejak kehidupan dan perjuangan Dipati Ukur di daerah selatan Bandung. Culanagara sendiri diambil dari nama sebuah aksesoris yang ditanggalkan oleh Dipati Ukur saat mengganti pakaiannya di Bukit Cula untuk menyamar menjadi rakyat biasa.

Monumen Culanagara di Bukit Cula, diresmikan tahun 2012


Tak jauh dari Situs Bukit Cula, terdapat pula sebuah makam yang dinamakan makam Ramogiling oleh warga sekitar. Dari hasil obrolan dengan cucu dari sesepuh di desa ini, ternyata selain makam Ramogiling terdapat pula makam yang cukup ‘mistis’. Dibilang ‘mistis’ karena katanya makam tersebut dapat berubah-ubah setiap kita mengunjunginya. Di satu waktu makam itu terlihat pendek, di waktu yang lain makam itu akan memanjang dengan sendirinya. Makan tersebut dinamakan makam Baranang Siang, layaknya nama sebuah perumahan yang terletak di perbatasan antara Baleendah-Ciparay. Di antara makam Ramogiling dan Baranang Siang pun katanya terdapat sebuah susunan batu menyerupai kursi yang saya lupa apa namanya… Yang jelas, daerah puncak dari gunung Ramogiling ini sering disambangi muda mudi untuk berkemah. “Cari suasana baru, daerah utara mah udah bosen,” jawab warga sekitar ketika ditanya alasan mengapa orang banyak berkemah di sana. 

Makam Ramogiling
Situs Ramogiling menjadi akhir dari perjalanan Ngaleut Batu Karut kami. Karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul 15.00 dan cuaca menunjukkan tanda-tanda hujan, kami memutuskan untuk langsung pulang menuju Kedai Preanger dan melanjutkan diskusi mengenai perjalanan kami di sana. 

Begitu banyak cerita dan informasi yang saya dapatkan dari Ngaleut Batu Karut. Banyaknya interaksi dengan warga sekitar yang saya lakukan pun menambah pengalaman saya dalam berkomunikasi dengan Bahasa Sunda yang alakadarnya. Untungnya warga yang saya ajak mengobrol Bahasa Sunda tidak menertawakan saya dan dengan baik hati switching dengan Bahasa Indonesia ketika saya tidak mengerti. Begitu banyak pengetahuan dan informasi baru yang bahkan akan terlalu panjang dan melelahkan untuk dituliskan di sini. Tidak sabar untuk perjalanan berikutnya dengan Komunitas Aleut!

Salam dari Komunitas Aleut!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar