Facebook

Kamis, 18 Februari 2016

Catatan Perjalanan: "Menjenguk" Waduk Jatigede


                Bermula dari hasil ngadat salah seorang teman di Komunitas Aleut yang tidak bisa ikut bertualang ke Negla hari Jumat lalu, saya dan teman-teman akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke daerah Wado, Sumedang. Kenapa Wado? Ya, bermula dari celotehan salah seorang teman saat perjalanan ke Negla minggu lalu, yang memberitahu bahwa terdapat banyak situs keramat di daerah Wado sekitaran Jatigede, meningkatlah rasa ingin tahu kami untuk mengunjungi daerah tersebut.

                Sebetulnya, perjalanan ke Wado ini sempat terancam batal saat mengetahui bahwa Waduk Jatigede meluap dan merendam perkampungan Jatigede dan beberapa daerah di Wado. Tapi, memang dasar tukang cari masalah, kami dengan semangat memutuskan untuk jadi pergi di hari Selasa pagi, tidak peduli dengan kemungkinan tercegat banjir dan semacamnya.

                Sekitar pukul 07:30 pagi kami berangkat dari Kedai Preanger menggunakan sepeda motor. Dengan menyusuri jalan ke arah Sumedang, kami menerjang semrawut lalu lintas Bandung pagi hari dan teriknya sinar matahari. Saat melintasi daerah Jatinangor, terlintas ide untuk berkunjung ke daerah kampus Unpad dan melihat salah satu bukti sejarah perkebunan karet di wilayah Jatinangor pada masa Hindia Belanda, Menara Loji. Saya sendiri baru pertama kali melihat menara ini. Jangankan menara, ini kali pertama saya masuk ke daerah kampus Unpad dan ITB Jatinangor. 

                Saat sampai di daerah Menara Loji, yang pada tahun 2014 diresmikan oleh rektor ITB sebagai “Taman Loji”, saya langsung terpana melihat keindahan menara itu. Menara lonceng dengan gaya gothic ini mengingatkan saya pada menara-menara lonceng yang ada di Eropa sana. Sebetulnya, selain menara yang ada di Taman Loji ini, ada lagi menara serupa yang terletak di komplek Kodim Jl. Aceh, tepat di sebrang Hotel Hyatt.

Menara Loji (photo: pribadi)

                Sambil melihat dan memotret keindahan menara, saya diberitahu bahwa menara ini dulu berfungsi sebagai menara pemberi tahu waktu untuk para pekerja perkebunan karet yang ada di wilayah Jatinangor. Perkebunan karet ini letaknya tepat di kawasan pendidikan Jatinangor, melintang dari kawasan kampus IPDN sampai lereng Gunung Manglayang. Perkebunan ini didirikan pada tahun 1844 dan dimiliki oleh seorang Jerman yang bernama W. A. Baud. Di tahun 1980, seseorang mencuri lonceng yang terdapat di puncak menara dan tidak pernah diketemukan lagi. Pada tahun 1990, wilayah ini akhirnya dijadikan wilayah pendidikan oleh pihak pemerintah dan menara ini dibiarkan tetap pada tempatnya semula. Tidak jauh dari makam, terdapat makam dari sang pemilik perkebunan. Tapi sayang sekali kami tidak dapat mengunjungi makam karena sedang diadakan pembangunan kampus ITB di wilayah makam tersebut. 

              Tidak sampai 20 menit kami melihat keindahan menara dan berbincang sebentar dengan satpam setempat, kami meneruskan perjalanan menuju daerah Sumedang. Sepanjang perjalanan kami ke Sumedang terdapat banyak papan informasi yang memberitahukan bahwa jalur menuju Tasikmalaya menuju Wado terputus dan dialihkan menuju jalur lain. Tidak mengindahkan papan-papan tersebut, kami terus melaju menuju Wado sampai akhirnya melihat sebuah pemandangan yang sangat indah, Waduk Jatigede. 

                Tunggu, keindahan tersebut dibuyarkan oleh kenyataan bahwa di bawah genangan danau yang sangat luas tersebut terdapat ratusan bahkan ribuan rumah warga yang terendam. Luasnya danau yang terlihat dari tempat saya berhenti menyadarkan saya akan luasnya wilayah perkampungan dan desa yang terendam oleh luapan Waduk Jatigede. Bukan hanya saya dan teman-teman, ada beberapa orang yang sempat berhenti di pinggir jalan untuk melihat pemandangan Waduk Jatiluhur tersebut. Rasa penasaran kami semakin menguat dan kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Waduk Jatigede.

                Untuk menuju daerah wisata (ya, sekarang dijadikan daerah wisata) Waduk Jatigede, kami menelusuri jalur Bandung-Sumedang, terus ke Sumedang Utara menuju ke arah Tasikmalaya melalui Jalan Situraja-Wado. Beberapa kilometer sebelum alun-alun Darmaraja, kami melihat sebuah papan yang bertuliskan “Wisata Mancing Waduk Jatigede” terpampang besar di bahu kiri jalan. Langsung saja kami mengarahkan laju kendaraan ke arah kiri untuk masuk ke dalam wilayah Waduk Jatigede. Jalan masuk ini bukanlah jalan umum; perkampungan warga dapat kita lihat di kiri kanan jalan. Bau kotoran sapi dan kambing semliwir di sepanjang perjalanan dari Jalan Raya Situraja menuju pinggiran Waduk Jatigede. Eits, jangan lupa pula membayar biaya masuk sebesar Rp 2.000 rupiah pada warga setempat. Dari jalan raya menuju pinggiran waduk ini kami menghabiskan waktu sekitar 5 menit saja, tak lebih dari 2 KM kok. 
                Saat sampai di sebuah persimpangan yang mengarah ke sisi waduk, kami harus memarkirkan motor kami dan berjalan kaki. Sebetulnya bisa saja sih kalau mau bawa motor sampai ke sisi waduk, hanya saja ketinggian air semakin meningkat dan jalanan berbatu juga licin. Daripada cari bahaya, kami pakirkan saja motor dan titipkan pada warga sekitar. 

Salah satu titik parkir kawasan wisata Jatigede
                Jalur setapak menuju sisi waduk sebenarnya tidak terlalu panjang. Hanya saja jalannya berbatu dan licin, membuat saya pribadi kesulitan untuk berjalan karena harus selalu berhati-hati menapakkan kaki sepanjang perjalanan. Sesampainya di sisi waduk, betapa terkejutnya kami saat menyaksikan dari dekat betapa tingginya luapan waduk Jatigede. Banyak pepohonan yang terendam banjir sampai puncaknya, banyak juga warung-warung yang seharusnya ada namun terendam oleh tingginya luapan air waduk. Namun, disamping hal tersebut, pemandangan waduk ini memang sangat indah. Kalau Danau Purba masih ada, mungkin penampakannya mirip seperti waduk Jatigede yang sedang meluap ini.

Waduk Jatigede yang sudah meluap

                Puas menikmati pemandangan waduk Jatigede dengan bercampur rasa miris ketika teringat akan perkampungan yang terendam banjir, kami meneruskan perjalanan ke arah titik banjir. Dari titik wisata waduk Jatigede, kami berjalan lurus terus menuju Alun-alun Darmaraja. Ketika sampai di perempatan alun-alun, sebuah tenda pos penjagaan polisi berdiri kokoh di tengah jalan, menjaga lalu lintas kendaraan yang keluar masuk daerah Kampung Munjul, salah satu kampung yang terkena dampak paling besar dari luapan Waduk Jatigede. 

                Kami memutuskan untuk melihat sebentar lokasi yang terkena banjir dan semakin merengut saat melihat keadaan perkampungan warga. Perumahan, sekolah, sawah, dan kebun semuanya terendam banjir. Akses jalan menuju Tasikmalaya pun terputus, mengharuskan warga melewati jalur Malangbong bila ingin meneruskan perjalanan dari Sumedang menuju Tasikmalaya. Tidak lama kami berada di sana, kami memutuskan untuk segera pulang karena langit mulai menunjukkan geramannya. Betapa kecewanya saat kami melihat begitu banyak papan petunjuk yang memberikan informasi mengenai situs-situs keramat di sekitaran Waduk Jatigede, yang tentunya sudah terendam banjir, dan tidak dapat kami sambangi.

                Dari arah Kampung Munjul, kami belok kiri setelah Alun-Alun Darmaraja untuk menuju ke Bandung, melewati jalur alternatif menuju Malangbong. Apakah ini jalan terbaik? Tentu saja tidak. Jalan alternatif ini tidak begitu mulus di beberapa titik, cenderung menurun tajam, berbatu dan licin di saat hujan. Kami pulang di saat hujan, dan kami (sedikit) menyesali pilihan kami untuk melewati jalur ini. Bukan hanya jalurnya yang menantang, jarak yang kami tempuh pun semakin jauh memutar. Lebih dari 100KM kami sambangi melalui jalur memutar alternatif Malangbong ini. Sungguh perjalanan yang sangat luar biasa. Namun semua rasa lelah dan pegal itu sirna saat kami dapat menikmati indahnya kabut yang turun menutupi wilayah lingkar Nagreg. Betapa indahnya, dan tentunya fenomena yang jarang terjadi di iklim Bandung yang sudah tak seperti dulu lagi.

                Sampai di Kedai Preanger, saya masih terenyuh saat melihat-lihat foto pemandangan Waduk Jatigede yang kami “jenguk” tadi. Di balik keindahan yang ditampilkan, terdapat kekecewaan dan kepasrahan dari warga yang tempat tinggalnya terendam oleh tingginya luapan air dari waduk tersebut. Mungkin saya akan datang lagi untuk menjenguk waduk beserta situs-situs keramat yang ada di sekitarnya nanti, ketika keadaaan sudah lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar