Facebook

Selasa, 05 April 2016

Catatan Perjalanan: Basa Bandung Halimunan




NGALEUT: BASA BANDUNG HALIMUNAN

Mengenang masa lalu, terutama masa kecil, memang selalu menyenangkan. Banyak hal-hal yang dapat kita tertawakan di saat kita beranjak dewasa; kebanyakan mempertanyakan kebodohan-kebodohan yang telah diperbuat saat kita kecil dahulu. Membandingkan keadaan dahulu dan sekarang, dari mulai sifat perilaku sampai dengan lingkungan tempat tinggal. Pahit manisnya kenangan itu tentunya menjadi satu rasa tersendiri, yang akan semakin lengkap apabila dituangkan ke dalam satu tulisan.



Adalah H. Us Tiarsa R. yang menuliskan pengalaman masa kecilnya di Kota Bandung pada tahun 50-60an dalam sebuah buku yang berjudul “Basa Bandung Halimunan”, atau dalam Bahasa Indonesia “Kala Bandung Berkabut”. Buku tersebut ditulis dalam Bahasa Sunda keseharian dan disajikan dengan gaya bahasa yang membawa pembacanya mengalir ke dalam penuturannya mengenai Bandung di masa lalu.


Bersama dengan Komunitas Aleut, saya dan teman-teman menelusuri beberapa titik di Kota Bandung yang ada di dalam buku Basa Bandung Halimunan hari Minggu (3/4/2016) kemarin. Hari itu kami fokus di kawasan Kebon Kawung, menyusuri wilayah Jl. H. Mesri, Cicendo, dan Kebon Sirih. Rasanya lucu, ngaleut di kawasan yang notabene hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah, dan tentunya setiap hari saya lewati. Tapi disinilah letak keseruan ngaleut, dari rute yang saya biasa sambangi sehari-hari, selalu ada hal baru yang saya ketahui. Contohnya adalah rumah Alm. Haryoto Kunto yang berada di Jl. H. Mesri. Ternyata rumah dari “Bapak-nya Bandung” ini berjarak sangat dekat dari rumah saya. For all this time, I just realized it. What a shame.

Kumpul di depan rumah Alm. Haryoto Kunto


Selain itu, kami berjalan sedikit menuju belakang GOR Pajajaran, dan melihat sebuah pohon yang menjadi saksi sejarah penamaan daerah Kebon Kawung. Ya, pohon kawung. Mungkin ini pertama kalinya saya melihat pohon kawung dari dekat, tepat di lokasi yang dulunya memang merupakan kebun kawung. Tidak lupa sebuah kolam di sebelah pohon tersebut yang jaman baheula biasa digunakan untuk merendam anak-anak laki-laki yang mau disunat sampai bagian bawah tubuh mereka baal (mati rasa). Tidak terbayangkan oleh saya, para anak lelaki yang sedari subuh sudah disuruh berendam selama berjam-jam sampai mereka mati rasa sebelum akhirnya disunat dengan cara yang masih sangat tradisional. Euh, menuliskannya saja sudah membuat saya ngilu, padahal saya perempuan.

Pohon Kawung



Hal menarik lainnya yang saya rasakan adalah pengalaman menelusuri gang-gang yang sangat amat sempit di daerah Cicendo. Bukannya saya tidak pernah menelusuri gang, hanya saja ini kali pertama saya ngaleut melintasi perumahan padat warga di gang yang amat sangat sempit seperti itu. Sempat muncul rasa khawatir akan terganggunya para warga ketika rombongan Aleut melintas, tapi untungnya warga tidak terlihat terganggu ataupun sebagainya. Saya terkagum-kagum melihat kehidupan warga yang tinggal di gang seperti itu; kegiatannya, interaksinya, perilakunya. Sebagai seseorang yang semenjak lahir tinggal di daerah individualis dengan rumah yang berlokasi di pinggir jalan besar, jarang sekali saya berinteraksi dengan tetangga seperti halnya masyarakat di gang seperti itu. Rasa iri sempat terbesit di dalam hati saya kian makin membesar ketika mendengar pengalaman masa kecil teman-teman saya yang sangat menyenangkan.

 

Di sesi sharing banyak teman yang bercerita mengenai pengalaman masa kecilnya yang beragam, dan juga menyenangkan. Apalagi mereka yang menghabiskan masa kecilnya di luar kota Bandung, atau mereka yang berusia lebih tua dari saya, yang sempat menikmati indahnya Bandung ketika masih berkabut di pagi hari. Sedangkan saya? Sedari kecil sudah dihadapkan pada sumpeknya kota Bandung—tentunya belum sesumpek saat ini—dan interaksi sosial antara tetangga yang individualis. Masa kecil saya habiskan dengan membaca buku di dalam rumah, jarang bermain dengan teman sebaya. Karena itu, hari Lebaran, dimana saya dan keluarga pergi ke rumah kerabat di Sumedang, merupakan saat yang paling saya tunggu, semata-mata hanya untuk memandang indahnya pegunungan dan hamparan ladang sawah sepanjang jalan. Meskipun tidak memiliki banyak pengalaman masa kecil yang bersinggungan dengan keadaan kota Bandung masa lalu yang indah, saya cukup senang mendengar penuturan mengenai kisah-kisah masa kecil dari teman-teman Aleut yang lain. Nah, inilah hal menyenangkan lainnya dari ngaleut, bercerita dan mendengarkan cerita, terlebih lagi apabila kisah-kisah perjalanan dan kenangan itu dapat dituliskan dan dibagikan.