Facebook

Kamis, 25 Februari 2016

Catatan Perjalanan: Ngaleut Batu Karut-Arjasari-Ciparay




Hari Minggu (21/02/2012) yang lalu, seperti biasa saya menghilangkan penat dari kehidupan sehari-hari melalui kegiatan Ngaleut bersama Komunitas Aleut. Ngaleut kali ini pun membuat saya bersemangat karena Ngaleut kali ini momotoran lagi! Wuhu~

Hawa panas dan macet kami rasakan di sepanjang perjalanan, sempat pula kami beberapa kali salah mengambil belokan karena sudah lupa arah, tapi berbekal tunya-tanya pada warga sekitar dan ingatan yang tipis, kami berhasil sampai di Situs Budaya Bumi Alit Kabuyutan, berlokasi di perbatasan Batukarut dan Lebakwangi, Arjasari, Kab. Bandung. Letaknya yang berada di pinggir jalan dan plang informasi yang terpampang jelas membuat kami sampai dengan selamat. 

Letaknya plang informasi di pinggir jalan, perhatikan saja sisi kanan jalan (Dari arah Batu Karut)

Ini pertama kalinya saya mengunjungi Bumi Alit Kabuyutan. Berdasarkan hasil googling kesana kemari, baru saya tahu kalau Bumi Alit merupakan sebuah situs peninggalan adat Sunda yang kental dengan aturan agama Islam, dan di dalamnya terdapat berbagai macam pepohonan berusia ratusan tahun, sebuah Bale besar, dan sebuah rumah kecil yang terbuat dari bilik bambu. Dari hasil ngobrol singkat dengan kuncen Bumi Alit, saya diberitahu bahwa rumah bilik ini adalah bangunan utama dan tertua di Bumi Alit. Berbeda dengan Bale terbuka yang sudah diperluas dan dijadikan tempat berkumpul masyarakat saat Maulid Nabi, rumah bilik ini tertutup dan hanya para sepuh saja yang diperkenankan masuk ke dalam. Di dalam rumah ini terdapat perabot dapur dan perkakas perang jaman dulu seperti keris, pedang, tumbak, kujang, badi dan sumbul, yang dibawa oleh para leluhur Lebakwangi ke tanah tersebut. Di Bumi Alit ini pula terdapat sebuah gamelan tua yang diperkirakan berusia lebih dari 300 tahun, yang hanya dikeluarkan dan dimainkan di saat tertentu saja (contohnya Maulid Nabi). Gamelan itu dinamakan Gamelan Embah Bandong dan disimpan dengan sangat hati-hati oleh sesepuh yang rumahnya tidak begitu jauh dari lokasi situs Bumi Alit. 

Bale Masyarakat
Rumah Bumi Alit Kabuyutan

Selain itu, terdapat berbagai macam papan yang bertuliskan petuah mengenai kehidupan beragama dan sosial. Pesan-pesan yang tertuang dalam tulisan tersebut memiliki arti yang dalam, membuat hati saya sedikit merengut saban membaca tulisan-tulisan tersebut. Selain mendapatkan penjelasan mengenai rumah Bumi Alit dan pesan-pesan indah itu, saya dipersilahkan untuk memotret peta letak makam leluhur Lebakwangi dari dekat. Bapak kuncen menjelaskan letak tiap makam dan bagaimana masyarakat sering berkunjung untuk ziarah ke makam-makam tersebut.

5 Pra-Satia, pedoman hidup masyarakat Bumi Alit Kabuyutan

Setelah puas mengobrol dengan bapa kuncen dan memotret isi situs Bumi Alit, kami melanjutkan perjalanan ke bekas perkebunan teh dan kina Arjasari, perkebunan teh pertama di Priangan yang dikelola oleh salah seorang Preangerplanters, R.A. Kerkhoven, sebelum akhirnya dikalahkan oleh perkebunan teh lainnya seperti Gambung. 

Saat melintasi daerah bekas perkebunan teh dan kina Arjasari, saya kira saya dapat melihat paling tidak sisa perkebunan teh barang satu atau dua hektar, atau mungkin pabrik teh dan kinanya mungkin. Tapi kenyataan memperlihatkan saya pada luasnya areal sawah dan ladang jagung yang menyebar luas di wilayah pegunungan dan perbukitan Arjasari. Tak ada bekas perkebunan teh sama sekali. Sangat disayangkan. 

Sisa perkebunan Arjasari yang seluruhnya sudah menjadi ladang, contohnya ladang jagung ini

Tak ada peninggalan pabrik, rumah admin pun jadi. Saat berkeliling mencari rumah admin perkebunan Arjasari, kami bertemu dengan penduduk setempat yang dengan baik hati mengantar kami menuju bekas rumah admin. Lagi-lagi disayangkan, rumah admin Arjasari sudah direnovasi beberapa kali sehingga arsitektur aslinya sudah tidak terlihat sama sekali. Setelah dinasionalisasikan pada tahun 1957, perkebunan teh dan kina Arjasari menjadi perkebunan sereh, dengan gudang yang berada tepat di belakang rumah admin ini.

Bekas rumah admin perkebunan Arjasari, sudah tak ada sisa keasliannya lagi

Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju situs Bukit Cula, letaknya ada di Gunung Leutik, tidak jauh dari terminal Ciparay. Yang menjadi penanda situs Bukit Cula ini adalah bebatuan besar di lereng bukit yang berwarna hitam legam. Selain itu terdapat pula Monumen Culanagara dan sebuah papan yang berisi informasi administratif mengenai Situs Bukit Cula. Berdasarkan beberapa literature, Bukit Cula merupakan salah satu lokasi jejak kehidupan dan perjuangan Dipati Ukur di daerah selatan Bandung. Culanagara sendiri diambil dari nama sebuah aksesoris yang ditanggalkan oleh Dipati Ukur saat mengganti pakaiannya di Bukit Cula untuk menyamar menjadi rakyat biasa.

Monumen Culanagara di Bukit Cula, diresmikan tahun 2012


Tak jauh dari Situs Bukit Cula, terdapat pula sebuah makam yang dinamakan makam Ramogiling oleh warga sekitar. Dari hasil obrolan dengan cucu dari sesepuh di desa ini, ternyata selain makam Ramogiling terdapat pula makam yang cukup ‘mistis’. Dibilang ‘mistis’ karena katanya makam tersebut dapat berubah-ubah setiap kita mengunjunginya. Di satu waktu makam itu terlihat pendek, di waktu yang lain makam itu akan memanjang dengan sendirinya. Makan tersebut dinamakan makam Baranang Siang, layaknya nama sebuah perumahan yang terletak di perbatasan antara Baleendah-Ciparay. Di antara makam Ramogiling dan Baranang Siang pun katanya terdapat sebuah susunan batu menyerupai kursi yang saya lupa apa namanya… Yang jelas, daerah puncak dari gunung Ramogiling ini sering disambangi muda mudi untuk berkemah. “Cari suasana baru, daerah utara mah udah bosen,” jawab warga sekitar ketika ditanya alasan mengapa orang banyak berkemah di sana. 

Makam Ramogiling
Situs Ramogiling menjadi akhir dari perjalanan Ngaleut Batu Karut kami. Karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul 15.00 dan cuaca menunjukkan tanda-tanda hujan, kami memutuskan untuk langsung pulang menuju Kedai Preanger dan melanjutkan diskusi mengenai perjalanan kami di sana. 

Begitu banyak cerita dan informasi yang saya dapatkan dari Ngaleut Batu Karut. Banyaknya interaksi dengan warga sekitar yang saya lakukan pun menambah pengalaman saya dalam berkomunikasi dengan Bahasa Sunda yang alakadarnya. Untungnya warga yang saya ajak mengobrol Bahasa Sunda tidak menertawakan saya dan dengan baik hati switching dengan Bahasa Indonesia ketika saya tidak mengerti. Begitu banyak pengetahuan dan informasi baru yang bahkan akan terlalu panjang dan melelahkan untuk dituliskan di sini. Tidak sabar untuk perjalanan berikutnya dengan Komunitas Aleut!

Salam dari Komunitas Aleut!

Kamis, 18 Februari 2016

Catatan Perjalanan: "Menjenguk" Waduk Jatigede


                Bermula dari hasil ngadat salah seorang teman di Komunitas Aleut yang tidak bisa ikut bertualang ke Negla hari Jumat lalu, saya dan teman-teman akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke daerah Wado, Sumedang. Kenapa Wado? Ya, bermula dari celotehan salah seorang teman saat perjalanan ke Negla minggu lalu, yang memberitahu bahwa terdapat banyak situs keramat di daerah Wado sekitaran Jatigede, meningkatlah rasa ingin tahu kami untuk mengunjungi daerah tersebut.

                Sebetulnya, perjalanan ke Wado ini sempat terancam batal saat mengetahui bahwa Waduk Jatigede meluap dan merendam perkampungan Jatigede dan beberapa daerah di Wado. Tapi, memang dasar tukang cari masalah, kami dengan semangat memutuskan untuk jadi pergi di hari Selasa pagi, tidak peduli dengan kemungkinan tercegat banjir dan semacamnya.

                Sekitar pukul 07:30 pagi kami berangkat dari Kedai Preanger menggunakan sepeda motor. Dengan menyusuri jalan ke arah Sumedang, kami menerjang semrawut lalu lintas Bandung pagi hari dan teriknya sinar matahari. Saat melintasi daerah Jatinangor, terlintas ide untuk berkunjung ke daerah kampus Unpad dan melihat salah satu bukti sejarah perkebunan karet di wilayah Jatinangor pada masa Hindia Belanda, Menara Loji. Saya sendiri baru pertama kali melihat menara ini. Jangankan menara, ini kali pertama saya masuk ke daerah kampus Unpad dan ITB Jatinangor. 

                Saat sampai di daerah Menara Loji, yang pada tahun 2014 diresmikan oleh rektor ITB sebagai “Taman Loji”, saya langsung terpana melihat keindahan menara itu. Menara lonceng dengan gaya gothic ini mengingatkan saya pada menara-menara lonceng yang ada di Eropa sana. Sebetulnya, selain menara yang ada di Taman Loji ini, ada lagi menara serupa yang terletak di komplek Kodim Jl. Aceh, tepat di sebrang Hotel Hyatt.

Menara Loji (photo: pribadi)

                Sambil melihat dan memotret keindahan menara, saya diberitahu bahwa menara ini dulu berfungsi sebagai menara pemberi tahu waktu untuk para pekerja perkebunan karet yang ada di wilayah Jatinangor. Perkebunan karet ini letaknya tepat di kawasan pendidikan Jatinangor, melintang dari kawasan kampus IPDN sampai lereng Gunung Manglayang. Perkebunan ini didirikan pada tahun 1844 dan dimiliki oleh seorang Jerman yang bernama W. A. Baud. Di tahun 1980, seseorang mencuri lonceng yang terdapat di puncak menara dan tidak pernah diketemukan lagi. Pada tahun 1990, wilayah ini akhirnya dijadikan wilayah pendidikan oleh pihak pemerintah dan menara ini dibiarkan tetap pada tempatnya semula. Tidak jauh dari makam, terdapat makam dari sang pemilik perkebunan. Tapi sayang sekali kami tidak dapat mengunjungi makam karena sedang diadakan pembangunan kampus ITB di wilayah makam tersebut. 

              Tidak sampai 20 menit kami melihat keindahan menara dan berbincang sebentar dengan satpam setempat, kami meneruskan perjalanan menuju daerah Sumedang. Sepanjang perjalanan kami ke Sumedang terdapat banyak papan informasi yang memberitahukan bahwa jalur menuju Tasikmalaya menuju Wado terputus dan dialihkan menuju jalur lain. Tidak mengindahkan papan-papan tersebut, kami terus melaju menuju Wado sampai akhirnya melihat sebuah pemandangan yang sangat indah, Waduk Jatigede. 

                Tunggu, keindahan tersebut dibuyarkan oleh kenyataan bahwa di bawah genangan danau yang sangat luas tersebut terdapat ratusan bahkan ribuan rumah warga yang terendam. Luasnya danau yang terlihat dari tempat saya berhenti menyadarkan saya akan luasnya wilayah perkampungan dan desa yang terendam oleh luapan Waduk Jatigede. Bukan hanya saya dan teman-teman, ada beberapa orang yang sempat berhenti di pinggir jalan untuk melihat pemandangan Waduk Jatiluhur tersebut. Rasa penasaran kami semakin menguat dan kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Waduk Jatigede.

                Untuk menuju daerah wisata (ya, sekarang dijadikan daerah wisata) Waduk Jatigede, kami menelusuri jalur Bandung-Sumedang, terus ke Sumedang Utara menuju ke arah Tasikmalaya melalui Jalan Situraja-Wado. Beberapa kilometer sebelum alun-alun Darmaraja, kami melihat sebuah papan yang bertuliskan “Wisata Mancing Waduk Jatigede” terpampang besar di bahu kiri jalan. Langsung saja kami mengarahkan laju kendaraan ke arah kiri untuk masuk ke dalam wilayah Waduk Jatigede. Jalan masuk ini bukanlah jalan umum; perkampungan warga dapat kita lihat di kiri kanan jalan. Bau kotoran sapi dan kambing semliwir di sepanjang perjalanan dari Jalan Raya Situraja menuju pinggiran Waduk Jatigede. Eits, jangan lupa pula membayar biaya masuk sebesar Rp 2.000 rupiah pada warga setempat. Dari jalan raya menuju pinggiran waduk ini kami menghabiskan waktu sekitar 5 menit saja, tak lebih dari 2 KM kok. 
                Saat sampai di sebuah persimpangan yang mengarah ke sisi waduk, kami harus memarkirkan motor kami dan berjalan kaki. Sebetulnya bisa saja sih kalau mau bawa motor sampai ke sisi waduk, hanya saja ketinggian air semakin meningkat dan jalanan berbatu juga licin. Daripada cari bahaya, kami pakirkan saja motor dan titipkan pada warga sekitar. 

Salah satu titik parkir kawasan wisata Jatigede
                Jalur setapak menuju sisi waduk sebenarnya tidak terlalu panjang. Hanya saja jalannya berbatu dan licin, membuat saya pribadi kesulitan untuk berjalan karena harus selalu berhati-hati menapakkan kaki sepanjang perjalanan. Sesampainya di sisi waduk, betapa terkejutnya kami saat menyaksikan dari dekat betapa tingginya luapan waduk Jatigede. Banyak pepohonan yang terendam banjir sampai puncaknya, banyak juga warung-warung yang seharusnya ada namun terendam oleh tingginya luapan air waduk. Namun, disamping hal tersebut, pemandangan waduk ini memang sangat indah. Kalau Danau Purba masih ada, mungkin penampakannya mirip seperti waduk Jatigede yang sedang meluap ini.

Waduk Jatigede yang sudah meluap

                Puas menikmati pemandangan waduk Jatigede dengan bercampur rasa miris ketika teringat akan perkampungan yang terendam banjir, kami meneruskan perjalanan ke arah titik banjir. Dari titik wisata waduk Jatigede, kami berjalan lurus terus menuju Alun-alun Darmaraja. Ketika sampai di perempatan alun-alun, sebuah tenda pos penjagaan polisi berdiri kokoh di tengah jalan, menjaga lalu lintas kendaraan yang keluar masuk daerah Kampung Munjul, salah satu kampung yang terkena dampak paling besar dari luapan Waduk Jatigede. 

                Kami memutuskan untuk melihat sebentar lokasi yang terkena banjir dan semakin merengut saat melihat keadaan perkampungan warga. Perumahan, sekolah, sawah, dan kebun semuanya terendam banjir. Akses jalan menuju Tasikmalaya pun terputus, mengharuskan warga melewati jalur Malangbong bila ingin meneruskan perjalanan dari Sumedang menuju Tasikmalaya. Tidak lama kami berada di sana, kami memutuskan untuk segera pulang karena langit mulai menunjukkan geramannya. Betapa kecewanya saat kami melihat begitu banyak papan petunjuk yang memberikan informasi mengenai situs-situs keramat di sekitaran Waduk Jatigede, yang tentunya sudah terendam banjir, dan tidak dapat kami sambangi.

                Dari arah Kampung Munjul, kami belok kiri setelah Alun-Alun Darmaraja untuk menuju ke Bandung, melewati jalur alternatif menuju Malangbong. Apakah ini jalan terbaik? Tentu saja tidak. Jalan alternatif ini tidak begitu mulus di beberapa titik, cenderung menurun tajam, berbatu dan licin di saat hujan. Kami pulang di saat hujan, dan kami (sedikit) menyesali pilihan kami untuk melewati jalur ini. Bukan hanya jalurnya yang menantang, jarak yang kami tempuh pun semakin jauh memutar. Lebih dari 100KM kami sambangi melalui jalur memutar alternatif Malangbong ini. Sungguh perjalanan yang sangat luar biasa. Namun semua rasa lelah dan pegal itu sirna saat kami dapat menikmati indahnya kabut yang turun menutupi wilayah lingkar Nagreg. Betapa indahnya, dan tentunya fenomena yang jarang terjadi di iklim Bandung yang sudah tak seperti dulu lagi.

                Sampai di Kedai Preanger, saya masih terenyuh saat melihat-lihat foto pemandangan Waduk Jatigede yang kami “jenguk” tadi. Di balik keindahan yang ditampilkan, terdapat kekecewaan dan kepasrahan dari warga yang tempat tinggalnya terendam oleh tingginya luapan air dari waduk tersebut. Mungkin saya akan datang lagi untuk menjenguk waduk beserta situs-situs keramat yang ada di sekitarnya nanti, ketika keadaaan sudah lebih baik.

Catatan Perjalanan: Menuju 1800 mdpl, Perkebunan Negla


Menuju 1800 mdpl, Perkebunan Negla

“…jatuhlah beberapa helai daun dari sebuah pohon yang letaknya tidak jauh dari tempat menjerang air. Air dalam periuk tersebut berubah warna menjadi merah jingga dan menyebarkan bau harum menyegarkan.” – Kisah Para Preanger Planters, Her Suganda.

Selamat Datang di Perkebunan Sedep
           Kecintaan saya pada minuman teh dan perkebunan teh membuat setiap perjalanan bersama Komunitas Aleut yang berhubungan dengan perkebunan membuat saya sangat bersemangat. Tidak terkecuali perjalanan menuju perkebunan Negla yang saya ikuti pada hari Jumat (12/02/2016) yang lalu. Perkebunan Negla merupakan salah satu dari rangkaian perkebunan teh Priangan yang terletak di perbatasan antara Kab. Bandung dengan Garut Selatan. Perjalanan bisa ditempuh selama 3-4 jam dengan motor, kalau lancar. Ya, kita tidak pernah memprediksi keadaan lalu lintas dan jalanan yang akan kita hadapi. Jadi anggap saja 3-4 jam itu adalah waktu tercepat mencapai perkebunan Negla.

                Ketika saya dan teman-teman berangkat menuju Negla, keadaan jalanan cukup padat. Kami sengaja mengambil jalan melalui jalur Pacet untuk menghindari kemacetan yang berlebihan. Untuk menuju Pacet, kami mengambil jalan ke arah Ciparay melalui Jl. Terusan Buah Batu. Melewati daerah Dayeuh Kolot, kami mengambil jalan lurus terus sampai tiba di Terminal Ciparay. Di sana kami berbelok ke kanan, memasuki Jalan Raya Pacet, lalu terus menanjak ke Lembur Awi. 

Daerah Lembur Awi—Maruyung—Pacet—Cibeureum ini terkenal akan budidaya perkebunan sayur mayurnya. Sepanjang jalan kami tak henti-hentinya disuguhkan oleh pemandangan indah perkebunan dengan latar belakang pegunungan yang mengelilingi Bandung. Ketika terus berjalan ke arah atas, kami dipertemukan dengan wilayah perkebunan Talunsantosa dan Situ Cisanti. Namun kami tidak lantas berhenti disana. Perjalanan masih sangat jauh, bahkan jauh dari setengah perjalanan. 

Saat melewati perkebunan Talunsantosa, kami melewati pula Pabrik Teh London Sumatra Kertasari. Karena perkebunan Talunsantosa ini sangat luas, wilayahnya dibagi dua untuk Pabrik Santosa dan Pabrik Kertasari. Kami melewati Pabrik Teh Santosa setelah melintasi jalan selama beberapa kilometer ke depan. Nah, beberapa meter saja dari pabrik Santosa, kami berhenti di sebuah pertigaan dengan tugu di tengahnya. Tugu ini memberikan petunjuk arah yang sebenarnya diperuntukan mereka yang berkendara dari arah Pangalengan. Kami yang datang dari arah Pacet, seharusnya mengambil belokan ke kiri menuju Sedep. Namun kami memutuskan untuk berkunjung sebentar ke sebuah bendungan, yang tidak jauh dari pertigaan tersebut ke arah Pangalengan, yang bernama Bendung Tjilaki. Untuk cerita lengkap pengalaman saya di Bendungan Tjilaki, bisa cek catatan post setelah post ini.

Tugu Penunjuk di pertigaan Santosa-Sedep

 Kami kembali ke arah pertigaan dan mengikuti arah petunjuk tugu menuju Pabrik Talun dan Sedep. Tidak jauh dari pertigaan, kami sudah bisa melihat pabrik Talun beserta dengan rangkaian wisma dan rumah-rumah admin yang masih identik dengan arsitektur jaman Hindia-Belanda. Tapi, berbeda dengan jalan dari Pacet sampai dengan Pertigaan Sedep-Pacet-Pangalengan tadi, kontur jalan dari mulai perkebunan Sedep menuju Negla bisa terbilang masih sangat berat. Ya, berat. Jalanan yang tidak rata, penuh dengan bebatuan tajam, dan lubang-lubang tak terduga kami temui sepanjang perjalanan terutama setelah melewati pabrik Sedep. Kaki tangan pegal dan pantat sakit menjadi hal yang pasti dirasakan selama perjalanan ini. Namun semua rasa sakit dan pegal yang kami rasakan terobati begitu sampai di perkebunan Negla, tepat 1800 meter di atas permukaan laut, menyebar di wilayah kaki Gunung Kendang dan Gunung Puntang. 

Jalanan menuju perkebunan Negla

Karena cuaca tidak mendukung dan hujan turun semakin deras, dengan sangat terpaksa kami meninggalkan perkebunan Negla setelah memotret landscape perkebunan dan rumah admin beberapa kali. Hanya ada satu jalan pulang menuju Bandung, yaitu melewati jalanan berbatu tajam yang kami lewati saat menuju Negla sebelumnya. Betapa terkejutnya kami ketika hujan semakin deras dan jalanan tergenang layaknya sungai dangkal dengan aliran air yang deras. Menyeramkan. Mengingatnya saja membuat badan saya sakit semua. Selain itu, tak mengindahkan hujan deras dan jalanan berbatu, kami menambah masalah dengan mengambil jalan pulang memutar melewati Cibatarua. Derasnya hantaman tetesan hujan ke wajah dan kerasnya jalanan tak membuat kami gentar; teman-teman saya tak gentar, saya sih sudah menyerah dan pasrah mau dibawa kemana pun. Dari Negla ke Cibatarua, lalu melewati Kampung Datar dan Kampung Cisarua, sampai pada akhirnya kami keluar lagi di Perkebunan Sedep dan dapat melanjutkan perjalanan pulang menuju Bandung melewati jalanan mulus beraspal di jalur Pacet.

Kami akhirnya tiba kembali di Kedai Preanger sekitar pukul 19.00 dengan seluruh tubuh pegal-pegal dan kedinginan parah yang disebabkan guyuran hujan selama perjalanan pulang lebih dari 4 jam lamanya. Apakah saya kapok? Tentu saja tidak! Wangi klorofil yang keluar saat daun teh diolah, semerbak harumnya menyebar di sepanjang perjalanan melewati daerah pabrik teh; suatu pengalaman yang tidak pernah dapat terlupakan apabila berkunjung ke area perkebunan teh khususnya di kawasan Bandung Selatan. Itu pula yang saya rasakan selama perjalanan menuju perkebunan teh Negla. Sejuk dan jernihnya udara, suhu yang dingin, kabut yang cantik dan tebal, wangi klorofil yang menyebar di udara sekitar pabrik teh, selalu dapat membuatku terangsang untuk kembali lagi kesana. Yang pasti, sepertinya saya harus menyiapkan stok jaket hujan dan jaket penahan angin supaya tak kedinginan dan bantal kecil supaya pantat saya tidak lagi tepos sepanjang perjalanan.

Minggu, 14 Februari 2016

Catatan Perjalanan: Kendan, Nagreg, dan Bojong Menje (Part 2)



KENDAN, NAGREG, DAN BOJONG MENJE (PART 2)

Di bagian pertama catatan perjalanan ini, aku menceritakan sekilas mengenai kegiatan di Gunung Kendan dan Situs Kerajaan Kendan (cek part 1 disini). Setelah puas menikmati keindahan alam situs Kerajaan Kendan, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari makan siang. Kami berencana untuk langsung mencari makan di sekitaran Nagreg, tapi seperti biasa, kami mengambil jalan berkeliling dan memutuskan untuk mampir di Stasiun Nagreg sebentar.
Stasiun Nagreg merupakan salah satu stasiun tertinggi di Indonesia (+848 mdpl) yang masih aktif beroperasi. Stasiun ini tercatat mulai beroperasi sejak tahun 1890 dengan dua jalur kereta yang aktif. Terletak sekitar 50 meter dari Jalan Raya Bandung-Tasikmalaya, Stasiun Nagreg hanya berjarak beberapa ratus meter dari situs Kerajaan Kendan. Jarak antara daerah Kendan-Stasiun Nagreg dapat ditempuh dengan waktu 10 menit saja. Betul-betul dekat, kan?


di depan stasiun nagreg

Saat kami datang, stasiun kebetulan sedang tidak beroperasi. Suasana sepi dan gerbang masuk ke dalam peron pun ditutup. Betapa beruntungnya kami karena saat kami melongok ke dalam stasiun, masih ada beberapa penjaga stasiun yang dengan baik hati mempersilahkan kami masuk ke dalam stasiun dan berfoto-foto ria. Petugas stasiun pun dengan ramahnya bercerita sedikit tentang keadaan stasiun Nagreg saat ini. Sembari yang lain mengobrol dengan petugas stasiun, saya menyempatkan diri untuk duduk di wilayah tunggu penumpang. Langit-langit dan tembok yang berusia sudah sangat tua terlihat jelas. Beberapa kursi reyot dimakan waktu. Papan informasi jalur keberangkatan sudah pudar dan tak terlihat jelas tulisannya. Yang jelas, Stasiun Nagreg ini dilewati oleh kereta tujuan Cibatu-Purwakarta, Purworkerto, dan Solobalapan. Di samping bangunan stasiun yang tua dan beberapa kursi yang reyot, mesin pengatur lajur kereta sangatlah indah. Yang aku maksud dengan indah adalah mesin terlihat terawat dengan baik dan bersih. Semuanya berfungsi dengan baik. 

mesinnya masih bagus dan bersih terawat

Perut terasa menggaruk dari dalam setelah menghabiskan waktu kira-kira 30 menit di Stasiun Nagreg. Rasa lapar ini mengharuskan kami untuk pergi ke tempat makan siang dan melanjutkan perjalanan ke titik selanjutnya, Situs Candi Bojong Menje, yang terletak di Kampung Bojong Menje, Kelurahan Cangkuang, Kecamatan Rancaekek. Jalan masuk menuju situs ini masih berupa gang perumahan warga sekitar, letaknya di sebrang PT. Kewalram Indonesia. Yang menjadi penanda masuk adalah sebuah papan kecil bertuliskan Situs Candi Bojong Menje dengan sebuah miniature pesawat baling di atasnya. Entah apa maksudnya. Mungkin memang tidak ada maksud khusus.


Dari gang masuk menuju titik lokasi situs sangatlah dekat. Motor kami parkirkan di depan rumah warga di dalam gang tersebut setelah meminta izin. Berbekal zero knowledge, aku membawa bayangan akan situs-situs candi besar seperti yang tersebar di Garut. Ketika sampai di sana, yang aku lihat adalah setumpukan bebatuan bekas peninggalan candi yang ditutupi oleh atap semi permanen. Di sekitar lokasi penyimpanan batu dibuat semacam parit supaya tidak banyak orang masuk ke dalam wilayah peletakkan bebatuan. Miris, I must say. Seharusnya situs peninggalan cagar budaya semacam ini dapat diperlakukan dengan lebih baik. Namun kurangnya perhatian dari pemerintah membuat proses pemugaran berjalan dengan sangat lambat, itu pun atas inisiatif dari keluarga yang menempati tanah lokasi situs dan warga sekitar. 

tempat sementara bebatuan candi

Situs Candi Bojong Menje ini sendiri pertama kali ditemukan oleh pihak keluarga pemilik tanah di tahun 2002. Candi ini merupakan sisa peninggalan kerajaan Sunda dan diperkirakan berasal dari abad ke-8. Beberapa bebatuan yang ditemukan dari lokasi situs ini memiliki ukiran-ukiran yang sayangnya sudah mulai pudar, sehingga sulit untuk ‘dibaca’. Selain itu, lokasi tempat ditemukannya candi ini sedikit memprihatinkan. Dikelilingi oleh pabrik industri tekstil, sterilisasi wilayah situs candi tidak bisa dilakukan. Padahal seharusnya sebuah situs candi memiliki wilayah steril paling sedikit dengan radius 50 meter disekelilingnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat beberapa candi lagi yang tersebar di wilayah Kelurahan Cangkuang. Harga tanah yang dipatok sangat tinggi oleh pihak pabrik membuat warga dan pemerintah tidak dapat membebaskan lahan dalam jumlah yang besar. Untungnya keluarga pemilik tanah dan warga sekitar mau bekerja sama dalam proses pemugaran dan perlindungan cagar budaya ini.

beberapa bebatuan disimpan dalam rumah

Situs Candi Bojongmenje ini sekiranya dapat menjadi suatu atraksi wisata baru untuk para peminat khusus bila dapat dikembangkan dengan lebih baik lagi. Minat terhadap situs-situs semacam ini sudah mulai meningkat di kalangan muda-mudi, walaupun dengan tujuan yang sedikit melenceng dari apresiasi budaya dan sejarah. Namun tidak dipungkiri bahwa pemugaran dan perawatan situs-situs semacam ini dapat meningkatkan juga citra wilayah dan pemasukan warga sekitarnya. Asalkan ya itu, dengan perawatan yang tepat dan benar, dan juga sistem yang baik dari pengelola. Semoga wilayah situs ini dapat menjadi lebih baik lagi, dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah atau lembaga manapun yang mau meningkatkan kinerja pemugaran situs ini.

di halaman situs candi bojongmenje, indahnya warna warni bunga

Kendan, Stasiun Nagreg, dan Candi Bojong Menje benar-benar menjadi pengisi kebahagiaanku di hari itu. Selalu berharap dapat melakukan perjalanan lainnya, perjalanan serupa, ke tempat-tempat yang lebih menarik lagi :)