Facebook

Minggu, 28 Agustus 2016

Sungai, Sneakers, dan Jalur Menanjak Itu: Perjuangan Mencapai (dan Pulang Dari) Sanghyang Heulut



Sepatu sneakers sudah menjadi bagian dari hidupku. Dari jaman masih duduk di bangku SD sampai dengan lulus kuliah, sepatu sneakers tidak pernah hilang dari rak sepatu (ya of course beli baru setiap 1-2 tahun sekali). Pergi ke sekolah, kampus, mall, tempat-tempat wisata lainnya, sepasang sneakers selalu menemani; well, walaupun kehadirannya seringkali tergantikan oleh flat shoes dan heels di beberapa acara tertentu. Buatku, memakai sneakers bahkan lebih nyaman daripada memakai running shoes. Karenanya, sneakers selalu jadi pilihanku ketika melakukan perjalanan jauh-dekat, basah-kering, menanjak-menurun.

Di hari Minggu 14 Agustus 2016 silam, aku dan rekan-rekan dari Komunitas Aleut melakukan perjalanan menuju Sanghyang Heuleut yang berada di daerah PLTA Saguling, Rajamandala, Kab. Bandung Barat. Di rumah aku sempat terdiam barang 10 menitan, memikirkan alas kaki apa yang harus kupakai hari itu. Aku sama sekali tidak tahu kondisi jalanan seperti apa yang akan aku hadapi. Hmm.. sandal gunung atau sneakers? Tapi nanti kaki gosong karena momotoran, sneakers aja deh. Ya, hanya karena alasan takut kaki gosong kepanasan, aku pilih sneakers. Pathetic.

Perjalanan hari itu lumayan panas. Dalam hati aku bersyukur karena memakai sneakers. Alhamdulillah, at least kaki gak gosong, pikirku sambil memandang lokasi pertama perjalanan kami, Shanghyang Tikoro. Yap, untuk mencapai Shanghyang Heuleut, ada dua lokasi shanghyang-shanghyang yang kami lewati. Shanghyang Tikoro ini, shanghyang pertama, merupakan sebuah gua yang di dalamnya mengalir sungai menuju bawah tanah. Shanghyang Tikoro seringkali dikaitkan dengan legenda Danau Bandung Purba. Terlepas dari benar atau tidaknya perihal tersebut, Shanghyang Tikoro layak untuk dikunjungi. Coba deh kesana dan perhatikan mulut gua tersebut. Seperti mulut orang yang menganga lebar dengan aliran sungai yang seperti air minum, masuk ke tenggorokan dan pergi entah kemana.



Puas mendengarkan pemaparan tentang Sanghyang Tikoro dari Pak Abang, aku dan teman-teman meneruskan perjalanan ke Sanghyang Heuleut. Setelah sebelumnya ngobrol-ngobrol dengan para pedagang sekitar, muncullah keyakinan bahwa lokasi tujuan dapat ditempuh kurang lebih 1,5 jam saja. Terlena dengan jalanan aspal yang membentang di depan mata, aku kira jalanan menuju Sanghyang Heuleut memang akan selalu semulus itu. Kan jadi ingin ketawa ya…

Memasuki kawasan belakang pipa besar PLTA Saguling, kami mulai berjalan di pinggiran melawan arus sungai. Jalanan tentu saja tidak beraspal dan semulus tadi. Tanah, bebatuan, dan rumput menjadi pemanis wajib jalanan yang kami lewati. Wajar tentunya, tapi karena semalam hujan, ada beberapa titik yang licin dan tergenang air. Cukup untuk membuatku loncat-loncat kecil demi menghindari sepatu basah atau kotor kena lumpur. Nah, setelah kurang lebih berjalan sejauh 1KM di tengah udara panas ngaheab, kami bertemu dengan Shanghyang Poek, sanghyang yang kedua.

Sanghyang Poek merupakan sebuah gua purbakala yang terbentuk di kawasan batu gamping. Bentuknya landscape miring-miring gimana gitu, jadi ketika kami masuk ke dalamnya, seringkali kami harus berjalan sambil menunduk. Di dalamnya, terdapat stalakmit dan stalaktit yang buricak burinong kayak berlian… Berkelap-kelip indah, apalagi ketika terkena sinar lampu/senter. Gua ini gelap, banget, dan licin, banget. Terhitung tiga empat kali aku tergelincir ketika berjalan di dalam gua. Ya tas berat, ya harus pegang senter, ya sneakers licin… Mulai timbul penyesalan mengapa tadi pagi tidak pada sandal gunung saja… Ah, tapi banyak juga kok yang tergelincir. Berarti bukan masalah sepatunya, emang bebatuannya saja yang licin.



Di ujung gua, cahaya matahari menerobos, menyesuaikan mata dengan pemandangan sungai dan bebatuan yang menakjubkan. Yah, sayang sekali kemarin malam hujan, jadi air tidak begitu jernih. Tapi tetap saja, buatku pemandangan seperti ini baru bisa kunikmati setelah 22 tahun lamanya hidup di dunia. Tak lama menikmati pemandangan aliran sungai, beberapa orang di depan memanggil untuk turun ke bawah, ke sungai. Yap, ke sungai. Ternyata, untuk mencapai Shanghyang Heuleut, kami harus melewati sungai ini.

Loncat sana sini, menghindari air sana sini, menapaki batu sana sini, semuanya aku lakukan dengan penuh debaran. Bebatuan licin karena semalam hujan. Aliran air pun terlihat lebih deras dari biasanya. Aku takut tergelincir, takut jatuh. Kalau nanti jatuh, terus basah, terus sakit, terus benjol, gimana? Kalau sneakersku basah, gimana? Aku tidak membawa sandal, karena itu dag-dig-dug rasanya sepanjang perjalanan. Tapi memang dasar namanya Chika, sehati-hati apapun, pasti jatuh juga. Bukan rasa sakit atau malu yang aku rasakan; lucu. Saking lucunya, saat terbangun dari jatuh, aku dan Akay malah tertawa keras. Duh, memang dasar olegun.

Tenang, aku tidak akan menyalahkan siapapun untuk rute perjalanan luar biasa menuju Sanghyang Heuleut ini. Seharusnya, berdasarkan pengalaman miris sebelumnya, aku harus siap sedia memakai sandal gunung di setiap perjalanan. Gak usahlah sok tampil kece dengan sneakers. Toh ujung-ujungnya berlumpur, ujung-ujungnya basah, ujung-ujungnya pulang dimarahin mamah. So, untuk para pembaca yang mau mencapai Shanghyang Heuleut dari Sanghyang Poek, gunakanlah alas kaki terbuka dan anti selip, yah. Budayakan sandal gunung!



“Berapa puluh menit lagi kira-kira, Bang?” tanyaku sambil mencuci sepatu di pinggiran sungai untuk kali pertama seumur hidup, sementara yang lain beristirahat di sebuah warung.

“Yah sekitar 20-30 menit lagi lah dari sini.” Katanya, terdengar menenangkan dan meyakinkan. Ah, tapi memang dasar, seharusnya aku tahu perjalanan tidak akan secepat dan semudah yang dikatakannya. Lebih dari 40 menit kami berjalan, mendaki, melewati hutan, bebatuan, aliran sungai, aliran keringat, aliran keluhan dan sumpah serapah… sampai pada akhirnya kami melihat sebuah tempat yang dipenuhi orang-orang lengkap dengan warung di pinggirannya. Ah, Sanghyang Heuleut!

Jadi, Sanghyang Heuleut ini merupakan sebuah danau kecil indah yang tersembunyi di antara gunung di kawasan PLTA Saguling. Legendanya sih, ini adalah danau tempat dayang sumbi dan bidadari-bidadari lainnya mandi tuh… Karena keindahannya, banyak orang yang sengaja mau capek-capek datang kemari. Itu tuh, traveller gaul di Instagram kan banyak yang posting foto Sanghyang Heuleut yang indah banget itu… Sayangnya, kami datang setelah hujan cukup deras semalam. Karena itu, kami harus cukup puas hanya dengan bermain air dan bercengkrama melepas rasa lelah dari perjalanan tadi.



Karena hari sudah semakin sore, kami memutuskan untuk segera pulang sebelum jalanan menjadi gelap. Berat rasanya untuk meninggalkan Sanghyang Heuleut. Well, berat rasanya menapaki kembali jalanan jahanam itu. Rasanya tenaga terkuras habis hanya dengan memikirkan perjalanan pulang. Untungnya, kami sepakat untuk melalui jalan kedua (tidak melewati sungai) untuk kembali ke parkiran. Jalanannya melintasi gunung, katanya. Aku tersenyum memandang sneakersku, kamu ga akan kotor dan basah lagi, Alhamdulillah. Bye sungai dan bebatuan jahanam~

Kutarik lagi ucapan syukur yang sebelumnya aku ucapkan. Perjalanan pulang kami lebih mengerikan dari perjalanan perginya! Jalanan menanjak yang tak ada habisnya harus kami lewati sepanjang perjalanan. Naik, naik, naik, dan terus naik sampai keringat dan nafas habis. Yang muda dan berbadan kecil terus berada di depan, yang sudah berumur dan jarang olahraga tertinggal jauh di bawah. Rasa lelah perjalanan pergi yang masih tersisa 50% bertambah 150% karena jalan menanjak itu. Mengingatnya saja membuatku lelah dan pegal…

Keluar dari jalur pendakian, kami berada jauh di atas pipa-pipa besar PLTA. Kemiringan 45o yang membuat kepala pusing luar biasa harus aku tahan supaya tidak jatuh terguling. Oleng sedikit, bisa gawat. Kelompokpun terbagi dua, mereka yang pergi melalui jalur ke atas, dan mereka yang ambil cepet menuju jalur bawah… Sebagai anak muda yang tak boleh takut akan hal baru, aku coba jalur bawah. Dah hasilnya?? Mual. Capek, mual, pusing, haus, berkeringat, kaki lecet karena pake sneakers basah tanpa kaos kaki, tas berat… Ya ampun Chika, jadi anak kota gini-gini amat sih.




Well,

Setelah perjalanan parkiran-Sanghyang Heuleut-parkiran yang mengenaskan itu, walaupun sudah 2 minggu lamanya berlalu, masih terbayang setiap langkahnya di pikiran. Licinnya, gelapnya, panasnya, jauhnya, menanjaknya, basahnya, pusingnya, jatuhnya, keindahannya, kesegarannya, segalanya.

Ketika mendengar pengalaman perjalananku, teman-teman sering bertanya, “Kok kamu bisa sih kayak gitu, Chik?? Aku sih ga akan kuat da mau pulang aja.” Yah, akupun tidak tahu. Kadang merasa diri ini bego dan olegun. Tapi tanpa perjalanan seperti itu, hidup sepertinya akan sarat akan kenangan. Tidak akan ada hal yang dikenang dan ditertawakan bersama teman seperjalanan.  Tidak akan ada teguran khawatir dari mamah yang hariwang setiap aku pulang ke rumah dalam keadaan mengenaskan. Tidak akan ada cemberut sambil nyikat sneakers yang semakin hari warnanya semakin luntur karena keseringan dicuci.


Yang jelas, tanpa perjalanan dan kenangan itu, tidak akan ada tulisan dan pengalaman untuk dibagikan. Karena perjalanan-perjalanan si anak kota yang penuh kebodohan itulah, blog ini ada dan terus hidup.

Kamis, 18 Agustus 2016

Pertemuan Senja Itu, Bersama Pak Wen



"Panggil aja Wen, Pak Wen. Hehe." jelasnya sembari tertawa kecil saat kutanya namanya. Bapak penjual rujak tumbuk ini mulai memotong buah-buahan yang dia ambil dari kotak.

Di depan Kedai Preanger, Jl. Solontongan 20D, inilah aku bertemu dengan seseorang yang kutetapkan layak menjadi sosok mulia KNB. Terima kasih pada Pak Ridwan yang memanggil Pak Wen ini dari dalam kedai, aku berkesempatan untuk berbincang mengenai perjalanan hidupnya, walau hanya sebentar.

"Kalau di sini mah cuma bapak Ridwan aja yang beli rujak bapak, neng. Yang lain mah ga ada yang mau..." ujar Pak Wen tiba-tiba saat aku sedang asyik melihatnya menumbuk buah. Aku tersenyum sedih mendengarnya.

Sudah 19 tahun lamanya beliau berjualan rujak tumbuk. Sendirian di Kota Bandung tanpa keluarga, Pak Wen hanya dapat pulang 2 bulan sekali ke kota asalnya Garut ketika ada rejeki. "Itupun palingan 2 hari, neng. Da di sana mah bapak gabisa kerja begini... Malu sama tetangga. Malu sama cucu bapak."

Dari 9 orang anak yang dia miliki, beliau sudah memiliki 13 cucu. Namun hanya 2 anak yang tetap tinggal bersama dengan istrinya di Garut. "Yah yang lainnya mah... ya gitu we neng.. pokoknya cuma dua yang tinggal sama bapa sama ibu." jawab Pak Wen saat kutanya perihal sembilan anaknya.

Bertempat tinggal di Jl. Maleer, Gatot Subroto, Pak Wen tidur berdesak-desakan dengan 8 orang lainnya di sebuah ruangan 4x4meter. Keseluruhannya adalah penjual rujak tumbuk juga. Iuran kontrakan sebesar 1 juta perbulan harus mereka bayar dengan berpatungan. Kalau tak begitu, tak tahu harus dimana mereka tidur.

Lahir di tahun 1943, umurnya yang menginjak 73 tahun tak jadi alasan untuk berhenti bekerja. "Ya, uang mah dicukup-cukupin aja lah neng. Ya gimana da cuma gini jualan bapak mah." Yap, dari seporsi rujak tumbuk yang dia jual, tak besar keuntungan yang dia dapatkan. Itu pun masih harus dia bagi untuk bayar kontrakan, makan sehari-hari, membeli buah-buahan lagi, pulang ke Garut, dan diberikan pada istri.

"Pak, itu tangan dan kakinya... Kenapa?" tanyaku khawatir saat melihat kondisi kulit dan tangannya.

"Ah. Bapak pernah dagang gorengan tahun 84. Pas lagi bawa katel isi minyak panas, aya barudak ti pengker. Nabrak bapak dari belakang te. Si katel tumpah, ya badan bapak kebanjur minyak panas. Bapak gabisa ngapa-ngapain selama 2 tahun... Stress bapak.." jawabnya sambil mengelus tangan dan kakinya.

Tak banyak yang aku bicarakan dengan beliau. Bahkan tak teringat untuk melihat KTP-nya. Perasaan miris terus datang seiring berbicara dengan Pak Wen.

"Bapak, nanti kalau lewat sini lagi dan ada saya atau Pak Ridwan mah, masuk aja ya pak... Bisi ga keliatan. Hatur nuhun, Pak. Sing lancar usahana... Rejekina lancar..." ujarku menutup pembicaraan dengan Pak Wen.

"Muhun, neng. Hatur nuhun pisan." jawabnya sambil menanggul kembali tanggungannya dan berjalan menuju rute dagang selanjutnya, daerah Lodaya.



Pertemuan Senja itu, bersama Pak Wen.
Chika Aldila
Kamis, 18 Agustus 2016.
15.40 WIB.

Solontongan, Bandung.

Senin, 08 Agustus 2016

Mendaki Dengan Flat Shoes dan Jaket Tipis: (Gagal) Hunting Milky Way di Gunung Putri, Lembang



Sampai sekarang masih terbayang di dalam benak, betapa menyenangkannya tidur di atas rerumputan sambil memandang langit bertaburan bintang. Untuk orang sepertiku yang notabene orang kota asli, hal tersebut merupakan sesuatu yang langka. Sampai umur seginipun, kegiatan tersebut masih menjadi impian kecilku. Terlihat sederhana, namun sulit sekali dilakukan.

Setelah gagal menikmati langit malam bertabur bintang di kemping pertamaku, tentunya kesempatan kedua tidak akan aku sia-siakan. Ya, di tanggal 6 Agustus kemarin, bertepatan dengan Hari Keantariksaan Nasional, aku dan beberapa teman pegiat Aleut yang lain merencanakan untuk pergi melihat fenomena summer triangle dan milky way. Tadinya sih mau ke Gunung Batu, tapi setelah berdiskusi dengan teman-teman yang lain terkait polusi cahaya, kami memutuskan pergi ke Gunung Putri, Lembang. Selain menjadi pengalaman pertama mengamati bintang, ini juga akan jadi kali pertama aku mengunjungi Gunung Putri yang akhir-akhir ini lagi hitz di Instagram itu.

Ternyata, letak Gunung Putri ini tidak begitu jauh dari Hotel Grand Paradise Lembang. Tidak sampai 10 menit, kami sudah sampai di parkiran motor. Jalan menuju area parkir pun tergolong mulus. Tidak ada kesulitan sama sekali.

Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 7.500/orang, kami ternyata harus menaiki sebuah anak tangga untuk mencapai pos pertama Gunung Putri. Dengan penuh amarah dan emosi karena sempat berdebat dengan salah seorang kawan di bawah, aku dan satu orang temanku sampai duluan ke atas. Jalanan yang cukup menanjak dan tinggi membuat teman-teman lain tertinggal di belakang. Aku pun ngas nges ngos sambil istirahat sebentar dan meminta air minum pada teman yang lain.

Pemandangan malam kota Bandung dari pos pertama Gunung Putri ini SUNGGUH SANGAT AMAT INDAH YA TUHAN. Asli. Indah banget! Buat saya yang sering pergi ke Punclut, duh, Punclut gak ada apa-apanya deh.

keindahan Kota Bandung dari pos pertama Gunung Putri

Eh, tunggu. Punclut kayaknya lebih enak karena faktor banyaknya tempat makan.

TAPI ASLI INI INDAH BANGET. Lautan kerlap kerlip lampu dari rumah-rumah dan gedung di Kota Bandung mengalihkan jiwaku beberapa saat, sebelum akhirnya mendongak ke atas dan melihat taburan bintang. Ya, memang tidak begitu banyak, tapi tetap saja untuk ukuranku yang anak kota, bintang disitu sudah tergolong banyak sekali.

Aku dan teman-teman langsung duduk di pos pertama tersebut, mengambil foto taburan bintang di kaki langit dan membuat video untuk kenang-kenangan, yang sayangnya gagal. Tapi aku kesini bukan dengan tujuan utama untuk melihat pemandangan kota Bandung. Aku mau melihat bintang yang ada di langit. Aku ingin tiduran di rerumputan sambil menghitung bintang seperti yang dilakukan aktor dan aktris di film; ya, walaupun tanpa pasangan. Karena itu, melihat teman-teman yang susah diajak pergi mendaki, aku pergi mendaki sendiri ke tempat yang lebih tinggi.

Jalanannya sebenarnya tidak terlalu landai pun sulit. Hanya saja, aku saat itu sedang memakai flat shoes. Iya, aku mendaki gunung dengan flat shoes. Soalnya, rencana awal kan mau pergi ke Gunung Batu, tapi secara mendadak diubah ke Gunung Putri yang aku tidak tahu bagaimana medannya. Huvth. Jadi, dengan penuh perjuangan supaya tidak terpeleset, aku mendaki sambil berpegangan pada rerumputan yang cukup kuat untuk dijadikan penahan. Tidak sampai 5 menit, akhirnya aku sampai di satu tempat yang cocok dipakai tempat singgah untuk sekedar berbaring di atas rerumputan dengan tenang.

Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada aku, dan seorang pengunjung yang sedang berkemah duduk santai di depan tendanya. Ku sapa sebentar untuk meminta ijin duduk tidak jauh dari tempatnya supaya dia tidak kaget kalau tiba-tiba ada suara terisak.

Ternyata memandang bintang beralaskan rerumputan seperti ini sangat amat membahagiakan. Tenang, tanpa gangguan apapun. Kecuali angin malam pegunungan yang lumayan dingin. Maklum, sekali lagi, karena aku kira kami akan pergi ke Gunung Batu, jadi aku tidak memakai jaket tebal. Memang sok kuat aja sih.

Lima belas menit berlalu, beberapa teman menyusul ke tempatku berbaring dan mengajakku pergi ke puncak untuk melihat pemandangan yang lebih bagus lagi. Perjalanan yang cukup terjal dan licin dilalui selama kurang lebih 15 menit sampai pada akhirnya kami mencapai Tugu Polri yang menjadi penanda puncak Gunung Putri. Sungguh, indah sekali. Bintang-bintang pun terasa lebih dekat. Tapi tetap saja, katanya lebih banyak bintang yang dapat dilihat ketika teman-teman pergi ke Sedep. Padahal, aku kan gak sempet ikut ke Sedep kemarin. Gak usah deh dibahas-bahas terus!

Karena hanya bawa kamera handphone, aku tidak bisa memotret keindahan bintang. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku duduk di sisi tugu dan melihat hamparan bintang di atas, sementara teman-teman yang lain heboh parah mengomentari hasil foto satu sama lain. Huvth. Aku langsung merasa menyesal karena tidak mempunyai kamera untuk memotret keindahan langit malam tersebut.


Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Angin terasa semakin menusuk karena jaket tipis yang kugunakan tak mampu melindungiku. Jempol terasa kaku dan hidung terasa aneh, seperti ada yang mengalir keluar sedikit demi sedikit. Ketika mendongak ke atas, betapa mengecewakannya, langit malamnya tertutup awan tebal! Tidak ada bintang yang terlihat sama sekali! Parah! Parah! :(

Teman-teman yang lainpun sudah mulai khawatir karena takut teman lain yang menunggu di bawah merasa bosan. Akhirnya, kami memutuskan turun ke bawah.

Memang, perjalanan turun selalu terasa lebih berat daripada perjalanan naik. Masalahnya, sekali lagi deh terakhir, aku cuma pakai flat shoes. Flat shoes yang digunakan pun hanya sepatu seharga 35ribuan yang dibeli dadakan di sekitaran kampus karena suatu alasan yang sudah aku lupakan. Tidak terhitung berapa kali aku terpeleset dan oleng ketika turun. Ya sebenarnya tidak masalah kalau terpeleset ketika tidak dilihat banyak orang. Yha ini, aku terpeleset tepat ketika melewati orang-orang yang sedang berkemah sambil bilang “permisi ya, kak…”. Malunya double.

Sampai di bawah, dengan rasa pegal luar biasa karena mendaki naik turun menggunakan flat shoes murah, menahan dingin karena hanya memakai jaket tipis, dan menahan kekecewaan karena langit malam yang tertutup awan tebal, aku terduduk lemas. Tapi aku tidak menyesal, kok. Soalnya kan aku sudah berhasil menunaikan salah satu impian kecilku, berbaring di rerumputan sambil memandang langit malam bertabur bintang sebelum pergi ke puncak tadi.


Pokoknya, suatu hari nanti, aku harus punya kamera yang mumpuni dan sanggup memotret milky way indah di puncak pegunungan yang ada di Jawa Barat. Mari kita jadikan hal tersebut sebagai… Resolusi 2018!


Salam dari Gunung Putri, Lembang!

Senin, 01 Agustus 2016

Terjerembab di Pupuk Kandang dan Rawa-Rawa: Situ Aul, Pangalengan



Sebagai anak kota yang seumur hidupnya tinggal sangat jauh dari daerah ladang, melihat dan mencium bau pupuk kandang adalah hal yang sangat menjijikan untuk saya. Kalau melihat dan mencium baunya saja sudah bikin jijik, apalagi terjerembab di dalamnya? Iyuwh! Ga kuat! Tapi sebentar, saya di sini tidak akan berbicara mengenai apa itu pupuk kandang dan  mengapa saya sangat membencinya. Tulisan ini akan bercerita tentang pengalaman saya mengunjungi sebuah keindahan tersembunyi di daerah Pangalengan, Jawa Barat.

Memang sudah rejeki anak soleh, pada hari Sabtu (23/07/2016) yang lalu, saya dan beberapa kawan di Komunitas Aleut! berkesempatan berkunjung ke daerah Pangalengan. Sebenarnya sih, tujuan awalnya adalah untuk mencari rumah yang dulu pernah ditempati oleh almarhum Presiden Soekarno yang katanya ada di daerah Cinyiruan. Tapi, anggap saja Cinyiruan bonus karena kami sudah pernah kesana. Tujuan utamanya adalah makan siang di sebuah tempat yang belum saya ketahui sebelumnya.

Adalah sebuah tempat bernama Puncak Sulibra. Itu tuh, tempat yang lagi hitz banget untuk para pendaki pemula di daerah Pangalengan. Saya sebenarnya sudah lama penasaran dengan tempat tersebut. Karena itu, saya sangat excited waktu kami jadi pergi ke Pangalengan. Sepanjang perjalanan mengitari daerah Kertamanah dan memotret keindahan perkebunan teh, saya terus memikirkan angle foto mana yang bagus untuk mengambil keindahan daerah Pangalengan dari Puncak Sulibra. Anaknya tuh benar-benar tidak mau ketinggalan hitz.

Perkebunan Teh Kertamanah. Di ujung terlihat uap tebal dari Geothermal Wayang Windu


Melewati Geothermal Wayang Windu dan menyusuri pipa-pipa besar berisikan uap super panas, jalan beton mulus mulai berubah menjadi jalan perkebunan pada umumnya; rusak dan berbatu-batu. Saya dan Tegar, rekan saya, akhirnya terbangun kembali setelah sebelumnya terbuai dengan kemulusan jalur perkebunan teh Kertamanah. Jalanan berbatu ini kami temui setelah melewati sebuah palang besar yang menandai area proyek Geothermal. Tapi tenang saja, tingkat kerusakan jalan disini jauh di bawah jalanan berbatu yang harus dilewati ketika kami berkunjung ke daerah Negla.


Pipa besar melintang sepanjang perbukitan

Setelah melewati palang dan melihat kerennya pemandangan ladang-ladang yang dilintasi oleh pipa-pipa super besar, Pak Abang memperlihatkan pada saya letak Puncak Sulibra. Sudah sangat dekat ternyata! Semakin senang dong tentunya, semakin tak sabar juga. Karena sudah masuk jam makan siang juga, kami langsung cepat-cepat tancap gas menuju lokasi tujuan.

'Ngolong' melewati pipa supaya bisa masuk ke area Situ Aul

Akhirnya kami memarkirkan kendaraan di depan sebuah sumur produksi. Melewati pipa besar, kami masuk ke dalam area hutan. Sumpah, saya saat itu masih berpikir bahwa kami akan dibawa ke Puncak Sulibra. Betapa naifnya saya. Mengikuti arahan Pak Abang, kami melewati pepohonan dan sekumpulan ilalang nan indah yang pastinya cocok untuk dijadikan lokasi prawedding. Saking sibuknya mengambil foto, saya tidak sadar kalau jalanan ternyata berlumpur, dan sepatu serta celana saya kena beberapa cipratan lumpur. Padahal sepatunya baru saja dicuci :(


padang ilalang, sebelum memasuki daerah rawa jahanam

Melewati ilalang, kami masuk ke sebuah area ladang kosong. Di sana, Pak Abang dan temannya Bu Wiwit berargumen ‘asyik’ mengenai jalur yang benar untuk mencapai lokasi tujuan. Sekali lagi, saat itu saya masih berpikir bahwa kami akan dibawa ke Puncak Sulibra. Karena itu, jalur manapun akan saya ikuti asalkan bisa mengantar saya sampai ke puncak. Namun, sejatinya, saya memang terlalu naïf. Saat menjejakkan kaki di tumpukan rerumputan, saya sadar bahwa tanah tempat saya berpijak tidaklah kokoh dan cenderung basah.

“Hati-hati, ini bekas rawa-rawa.” Kata orang yang berjalan paling depan. WHAT?!

Sambil terus sibuk merekam situasi dengan handphone, saya fokus untuk mencari pijakan yang kering. Tapi apa daya, baru seumur hidup saya melewati jalur seperti itu, sehingga tidak mengenal karakteristik bekas rawa-rawa seperti itu. Ya, saya beberapa kali terjerembab ke rawa-rawa dengan airnya yang kotor dan cenderung berwarna kuning gelap. Entar air apa itu, saya tak mau memikirkannya. Fakta bahwa air tersebut tak berbau pun sudah sangat membuat saya bersyukur setelah sedih melihat sepatu kesayangan yang baru dicuci menjadi kotor luar biasa dan basah kuyup.


Indahnya Situ Aul.Puncak Sulibra terlihat di kiri atas foto.

Setelah mencak-mencak dan menyalahkan pemimpin perjalanan, kami sampai di tepi sebuah danau kecil yang tak saya sangka ada di daerah tersebut. Situ Aul, namanya. Puncak Sulibra terlihat di sebrang danau tersebut, katanya. Oh, di situ saya sadar sambil tersenyum getir, kami tidak akan ke Puncak Sulibra. Cukup lihat saja dan tahu saja. Ok, gapapah.

Serius, gak apa-apa. Kenapa? Karena pemandangan Situ Aul ini sangat indah! Surga kecil tersembunyi di lereng Gunung Gambung Sedaningsih. Tidak terlihat kehadiran orang lain di sana. Kami makan beralasakan terpal jas hujan dalam keheningan alam, menikmati pemandangan riak-riak kecil nan indah di permukaan danau. Ah, bahagia itu sesederhana ini ternyata.


Makan Siang di pinggir danau

Perut kenyang, hati senang. Karena takut turun hujan, kami memutuskan untuk pulang lebih cepat. Hanya saja, kami tidak mau mengambil rute jalan melewati rawa-rawa tadi. Once is more than enough. Akhirnya kami berjalan melewati ladang-ladang kosong yang baru saja digemburi oleh pupuk kandang. Bau menyengat membuat kepala saya pening. Handphone sengaja saya masukkan ke dalam saku supaya saya bisa fokus berjalan. Eh, tapi memang dasar oleng, saya terpeleset sehingga kaki saya dengan mantapnya masuk ke dalam tanah gembur penuh dengan pupuk kandang. Ingin menangis rasanya. Baunya semakin menusuk ke dalam hidung. Cepat-cepat saya keluarkan kaki saya dan saya siram sepatunya dengan air. Siapa sih yang dari awal milih jalan setapak seperti ini! Sesat!

Setelah mencuci sepatu sebentar, saya menyempatkan untuk menghibur diri sendiri dengan memanjat sebuah bukit tinggi tak jauh dari tempat kami memarkirkan motor. Dari bukit tersebut terlihat Situ Cileunca dan Situ Cipanunjang dengan jelas. Bahagianya saya tidak terkira melihat pemandangan indah seperti itu. Meskipun sempat bingung memikirkan caranya turun, saya sama sekali tidak menyesal karena berhasil melihat pemandangan luar biasa indah yang teman-teman saya tidak lihat. Karena bahagia itu bisa dirasakan dan didapatkan walaupun seorang diri, kok.


Di pojok kiri atas terlihat Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca di sebelah kanannya

Yah, walaupun sepatu kotor dan bau gak jelas, saya pasti akan datang kembali lagi ke sini. Someday. Yang mau melihat video rekaman perjalanan kami, bisa cek video di bawah ini: 






Rabu, 27 Juli 2016

Menantang Maut: Maribaya-Subang di Bulan Juli



Kalau dilihat-lihat lagi, judulnya cukup menyeramkan: Menantang Maut. Sebenarnya, perjalanan kali ini tidak semenyeramkan itu, tapi cukup masuk akal kalau beberapa orang, terutama orang tua saya, menyebut perjalanan tersebut sebagai kegiatan menantang maut.

Kami tidak meloncat dari tebing, tidak mendaki gunung tinggi, tidak memasuki hutan lebat penuh dengan binatang buas, tidak. Seperti biasa, di hari Minggu (17/07/2016) pagi, saya dan beberapa pegiat Komunitas Aleut melakukan kegiatan rutin touring dari Maribaya ke Subang dengan motor yang kemudian disebut dengan istilah Ngaprak (Bahasa Sunda, memiliki makna serupa dengan kukurilingan/berkeliling). Hanya saja, rute yang akan kami lalui cukup beresiko karena pengaruh langit yang sedang senang-senangnya menangis terseguk-seguk di bulan Juli ini. Jalanan licin dan hujan lebat tentunya akan kami lalui, tapi ternyata ada satu hal yang saya pribadi tak sempat prediksi: kemungkinan terjebak longsor di tengah jalan.

Berangkat dari Kedai Preanger seperti biasanya, saya dan tandem saya Tegar mengambil posisi belakang sebagai sweeper. Ini berarti, saya dan teman saya ini harus dengan sigap memperhatikan posisi dan kondisi teman lainnya di depan. Selain itu, kami berdua bisa melihat dengan jelas berbagai macam kesulitan yang teman-teman lain hadapi selama perjalanan. Dan untuk saya pribadi, melihat teman-teman lain kesulitan membuat saya semakin parno! Motor yang kami berdua pakai adalah motor besar, meningkatkan kesulitan dalam menahan beban dan menyeimbangkan posisi di jalanan. Hufth.

Masuk melalui Dago Giri, kami meneruskan laju motor menuju daerah yang biasa  disebut sebagai Dago Bengkok lalu Buniwangi. Memasuki daerah Buniwangi, beberapa teman sudah kesulitan karena motornya tidak kuat menaiki tanjakan. Tanjakan di daerah Buniwangi ini memang tergolong sangat tinggi; salah memasukkan gigi, tak bisa naik. Keluar dari Buniwangi menuju Maribaya, kami berbelok ke akses utama Maribaya menuju Subang melalui Wangunharja dan langsung disambut oleh tanjakan yang lebih menantang lagi dibandingkan dengan sebelumnya. Selain berkelok-kelok dan sangat curam, jalan menanjak ini juga licin. Perlu ekstra hati-hati saat melewati tanjakan ini.

Perjuangan keras harus kami alami lagi memasuki perbatasan Maribaya-Subang. Beberapa kilometer menuju Puncak Eurad, beberapa teman yang dibonceng, termasuk saya, harus turun dari motor karena jalanan super licin dan beberapa teman sudah ada yang terjatuh karena memaksakan untuk berkendara berdua. Bahkan beberapa motor dalam rombongan kami harus dipegangi oleh beberapa orang supaya tidak terjatuh.

Jalanan super licin, yang dibonceng harus jalan kaki

Berbeda dengan para pemotor yang berasal dari desa di sekitaran sana. Dengan motornya, membawa boncengan ataupun hasil panen luar biasa banyak, mereka meliak-liuk mahir tanpa harus tergelincir atau kesulitan mencari jalan. Tak ayal para pengendara motor itu adalah perempuan! Bukan main luar biasa mereka. Tak perlulah mereka membuat SIM, mungkin para polisi pun kalah telak dalam urusan mengendalikan motor di daerah seperti ini.

Setelah melewati Puncak Eurad dan daerah Bukanagara, kami menemukan sebuah Tugu Teh Walini. Betapa senangnya kami ketika akhirnya sampai di tugu tersebut. Tugu tersebut dikelilingi oleh bekas pabrik dan perumahan padat warga. Perumahan padat warga berarti satu hal: WARUNG NASI. Ya, saya capslock, penuh dengan penekanan dan teriakan dalam hati karena saya dan teman-teman amat sangat lapar saat itu! Dan voila, akhirnya warung nasi ditemukan tidak jauh dari tugu dan kami berkesempatan untuk mengisi bahan bakar untuk setelah dibanting-banting sepanjang perjalanan.



Sambil makan siang, kami berbincang sedikit dengan suami-istri pemilik warung perihal jalan menuju Subang. Alhamdulillah, mereka mengatakan bahwa jalan menuju Subang melalui Cupunagara yang akan kami lewati ini relatif sudah bagus dibandingkan jalanan sebelumnya. “Sebenarnya jalannya sempat tertutup dua minggu lalu karena longsor, tapi sekarang sudah bisa dilewati, jalannya juga sudah aspal kok sudah bagus,” katanya.

Mendengar hal seperti itu tentu saya sumringah. Saya dan teman-teman lainnya langsung meneruskan perjalanan melewati pegunungan yang berkelok-kelok dengan kondisi jalanan yang… ya, tidak lebih buruk dari jalur kami sebelumnya. Saya tekankan, tidak lebih buruk. Selain itu, kami melewati banyak titik longsor yang dibicarakan pemilik warung. Demi deh, saya sedikit merinding dan ketakutan, membayangkan longsoran yang bisa saja menimpa kami sewaktu-waktu. Lalu, seperti yang sudah diduga, hujan turun di tengah perjalanan. Padahal saya dan Tegar sudah sempat bercakap-cakap, “Wah, untung engga hujan. Kalau hujan, ini jalanan pasti udah licin banget dan gatau deh ini longsornya gimana!” Apa daya, kami kan tidak bisa menahan hujan turun.

Berbekal do’a dan tekad, kami meneruskan perjalanan di tengah derasnya hujan di balik pegunungan. Pemandangan bekas longsoran yang luar biasa besar di banyak titik membuat saya berdo’a semakin kencang dalam hati. Saya hanya ingin pulang ke rumah dengan selamat bersama dengan teman-teman. Itu saja. Tak terpikirkan lagi hal-hal lain.

Pohon tumbang sempat memutus akses jalan sementara

Di tengah kekhusyuan berdoa, laju motor kami sempat berhenti karena kerumunan teman-teman di depan. Semua turun dari motornya. Lalu, hal mengerikan yang saya takutkan terjadi. PEPOHONAN TUMBANG. Ya, pepohonan tumbang karena tanah tergerus hujan dan MEMUTUS satu-satunya akses jalan. Saya merinding disko dibuatnya. Teman-teman dan beberapa warga yang juga mau melintas lalu bahu-membahu menyingkirkan pohon tersebut. Teman saya yang ada di barisan depan sempat trauma, “maju sedikit, mungkin aku sudah tertimpa pohon, chik!” Sungguh, maut tak ada yang tahu kapan datangnya. Tapi, berkat perjuangan dari teman-teman, kami dapat lolos dan memasuki kota Subang dengan selamat dan utuh.

Sambil menyesap secangkir kopi dan menikmati keindahan perkebunan teh Ciater, kami beristirahat di warung kopi pinggir jalan sambil saling bercerita mengenai kesan perjalanan hari itu. Berbagai macam perasaan, kesan, dan pesan berhamburan di sesi sharing ini.

Pemandangan perkebunan teh Ciater dari warkop tempat singgah
Sungguh, perjalanan pertama saya menyusuri rute ini merupakan pengalaman yang membuat saya tak henti-hentinya membacakan ayat Kursi sepanjang jalan. Lucu juga kalau diingat. Banyak perjalanan ekstrim dan melelahkan yang telah kami lalui, tapi pengalaman yang saya alami dalam perjalanan ini tak akan pernah dapat terlupakan.


Bagi yang mau melihat video perjalanan kami, silahkan cek di bawah ini:


Senin, 25 Juli 2016

Kemah Pertama di Bumi Perkemahan Rancaupas





Sebagai seorang remaja berumur 22 tahun yang sehat walafiat dan sangat menyukai kegiatan jalan-jalan di alam terbuka, tentu saja aku sangat ingin menikmati yang namanya kemping. Iya, kemping yang itu, pasang tenda untuk bermalam di tengah hutan atau gunung atau alam terbuka lainnya, lalu memasang api unggun dan bercengkrama semalaman bersama dengan teman-teman. Sudah 22 tahun, tapi belum sekalipun aku merasakan yang namanya kemping. Menyedihkan, ya.

Berbagai hal menjadi alasan orang tuaku untuk melarangku ikut kemping, bahkan kemping yang dilaksanakan pihak sekolah atau kampus. Karena aku perempuan lah, aku mudah sakit lah, udara dingin lah, air kotor lah, binatang liar lah, ah pokoknya banyak alasannya. Sekarang, berhubung aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri, aku sedikit memaksa kedua orang tuaku untuk mengijinkanku pergi kemping bersama beberapa teman. Berbagai ucapan penuh desakan itu pun berhasil untuk membujuk orang tuaku menginjinkanku berkemah. Yaaay!

Tadinya, aku dan kelima temanku berencana untuk berkemah di Tegal Panjang, Papandayan. Alam yang indah benar-benar menarik perhatianku dan salah satu sahabatku yang gemar mengambil foto. Tegal Panjang tempat yang sangat cocok untuk hunting foto. Tapi, berhubung tempat tersebut merupakan kawasan konservasi dan illegal untuk memasukinya tanpa izin khusus, kami mengurungkan niat kami dan mencari tempat lain yang lebih dekat.

Well, sebenarnya karena restu orang tua yang tidak datang setelah aku menelpon mereka dan mengatakan akan pergi ke Tegal Panjang. “Nanti kalau kamu diserang harimau bagaimana?!”

Yowes. Gunung Puntang menjadi pilihan kedua kami. Setelah browsing kesana kemari, mencari tahu seperti apa itu Gunung Puntang dan Bumi Perkemahan Puntang, aku dan teman-teman memutuskan untuk pergi kesana. Keputusan ini diambil hanya beberapa belas jam sebelum keberangkatan. Kami memang sedikit nekad. Kami bahkan belum mempersiapkan apapun. Bahkan kami masih sibuk menghubungi penyewaan peralatan kemah yang sekiranya buka malam itu.

Sialnya, saat bangun dini hari untuk mempersiapkan keberangkatan, salah satu temanku memberitahukan bahwa area pendakian gunung Puntang ditutup untuk sementara karena longsor. Aaah, lagi-lagi rencana kami gagal. Kami terus berdebat untuk menentukan tujuan pegganti, hanya dalam waktu satu jam sebelum keberangkatan. Kami keukeuh ingin berkemah karena kami sudah meminjam tenda dan peralatan kemah lainnya. Sampai pada akhirnya, kami memutuskan untuk berkemah di tempat yang dekat dan sudah terjamin fasilitas umumnya, Bumi Perkemahan Ranca Upas. Iya, tempat kemah anak-anak SD dan Pramuka itu. Iya, yang berkemah tapi dikelilingi warung-warung Indomie yang buka 24 jam itu. Iya, tempat untuk kemping-kemping cantik itu.

Untuk menutupi kekecewaan karena hanya bisa berkemah di tempat yang tidak ada tantangannya, aku mengajak teman-teman untuk berkeliling perkebunan teh di Bandung Selatan sebelum akhirnya mencapai Ranca Upas. Aku masih ingat rute yang biasa aku lalui bersama Komunitas Aleut, tapi aku ragu karena jalanan yang cukup ekstrim dan cukup menyiksa tubuh. Setelah pertimbangan panjang dan diskusi dengan salah satu kawan di Komunitas Aleut, akhirnya aku kembali mengurungkan niat dan mengajak teman-teman melewati jalanan umum untuk mencapai Ciwidey. 

Aku memang orang yang senang mencari masalah selama perjalanan. Aku tidak menikmati perjalanan yang dekat dan cepat; bukan hanya tempat tujuan yang ingin aku nikmati, tapi juga perjalanannya. Karena itu, aku mengajak teman-teman untuk mampir sebentar ke Situ Patenggang sebelum memasuki kawasan Rancaupas.

Sebenarnya, kawasan Situ Patenggang ini lebih jauh 15 menit dari kawasan Rancaupas. Ketika kami berhenti sebentar di depan gerbang masuk Rancaupas, terlihat wajah-wajah lelah dan mengantuk dari teman-teman ketika aku meyakinkan mereka untuk meneruskan perjalanan ke Situ Patenggang. Namun, kunjungan kami kesana tidak disesali sama sekali. Indahnya pemandangan dan serunya obrolan selama berjalan-jalan di sana benar-benar menyegarkan tubuh.
 
Kami tidak berlama-lama di sana karena hari sudah semakin gelap dan akan sulit bagi kami untuk membangun tenda ketika hari sudah gelap. Tapi tetap saja, karena terdistraksi oleh jagung bakar di pinggir jalan, ujung-ujungnya kami sampai di Rancaupas lepas magrib. Alhasil, kami harus memasang tenda gelap-gelapan sambil sibuk meributkan soal tongkat besi mana yang harus dimasukkan ke lubang mana. Enam anak muda, gelap-gelapan memasang tenda, sibuk ribut sana sini soal tongkat dan lubang, alay memang. 

Setelah berhasil memasang tenda, perut-perut anak remaja ini bergejolak kelaparan. Kebetulan salah seorang teman membawa beberapa bungkus mie instan untuk dimasak. Aku pun sengaja meminjam kompor portable untuk memasak air dan beberapa makanan lainnya. Karena tidak tahu cara menyalakan kompor portable seperti itu, aku meminta salah seorang temanku untuk menyalakannya. Lalu, alamak… memang teman-temanku ini lucu nian, bukannya berhasil menyalakan kompor, mereka malah merusak kompor itu. Alhasil kami gagal masak dan memutuskan untuk makan di warung kopi tak jauh dari tenda.

Tegar dan Pace, dua oknum utama yang bikin semuanya gagal makan

 Puas makan, aku merasa ngantuk parah. Ditambah langit mendung yang tak menunjukkan bintangnya sama sekali, aku memutuskan untuk kembali ke tenda duluan untuk mempersiapkan lahan api unggun. Perjuangan menyalakan api unggun pun tidak mudah karena kayu yang temanku beli itu basah. Ingin rasanya menggetok kepala teman-temanku itu satu persatu. Hampir 2 jam kami berusaha menyalakan api sambil bercerita satu sama lain. Dari mulai cerita horror, cerita konyol sepanjang perjalanan, sampai curhat tentang tambatan hati masing-masing.



Puas bercerita, kenyang setelah makan malam, udara dingin ditambah dengan kehangatan api unggun, kelopak mata terasa semakin berat. Waktu menunjukkan pukul 02.00. Aku dan teman-teman memutuskan untuk tidur karena ingin bangun pagi buta untuk mengejar kabut. Tak disangka-sangka, hujan turun dan menghantarkan udara dingin yang amat sangat. Dua lapis jaket, dua lapis kaos kaki, dan bungkusan sleeping bag tidak cukup untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk. Untungnya tubuh ini terbiasa untuk menyukai hawa dingin; ketika teman-teman yang lain ribut karena kedinginan, aku tidur nyenyak sampai subuh.

Saat bangun di pagi buta, sesaat sebelum adzan Shubuh berkumandang, aku mengawang memikirkan segala hal yang telah dilalui kemarin. Kalau dipikir-pikir, ini pengalaman kemah yang lumayan kacau juga. Gagal memasak, gagal makan, gagal bikin api unggun dengan mudah, gagal melihat bintang, dan gagal melihat sunrise karena kabut super tebal. Tapi, buatku yang baru pertama kali berkemah seperti ini, pengalaman ini tetap menjadi salah satu pengalaman yang paling menyenangkan dan tak akan terlupakan seumur hidupku.

Mau kemping lagi? Mau banget! Tapi sepertinya aku harus mempersiapkannya dengan sangat matang supaya tidak gagal lagi seperti kemping kali ini :)