Facebook

Rabu, 27 Juli 2016

Menantang Maut: Maribaya-Subang di Bulan Juli



Kalau dilihat-lihat lagi, judulnya cukup menyeramkan: Menantang Maut. Sebenarnya, perjalanan kali ini tidak semenyeramkan itu, tapi cukup masuk akal kalau beberapa orang, terutama orang tua saya, menyebut perjalanan tersebut sebagai kegiatan menantang maut.

Kami tidak meloncat dari tebing, tidak mendaki gunung tinggi, tidak memasuki hutan lebat penuh dengan binatang buas, tidak. Seperti biasa, di hari Minggu (17/07/2016) pagi, saya dan beberapa pegiat Komunitas Aleut melakukan kegiatan rutin touring dari Maribaya ke Subang dengan motor yang kemudian disebut dengan istilah Ngaprak (Bahasa Sunda, memiliki makna serupa dengan kukurilingan/berkeliling). Hanya saja, rute yang akan kami lalui cukup beresiko karena pengaruh langit yang sedang senang-senangnya menangis terseguk-seguk di bulan Juli ini. Jalanan licin dan hujan lebat tentunya akan kami lalui, tapi ternyata ada satu hal yang saya pribadi tak sempat prediksi: kemungkinan terjebak longsor di tengah jalan.

Berangkat dari Kedai Preanger seperti biasanya, saya dan tandem saya Tegar mengambil posisi belakang sebagai sweeper. Ini berarti, saya dan teman saya ini harus dengan sigap memperhatikan posisi dan kondisi teman lainnya di depan. Selain itu, kami berdua bisa melihat dengan jelas berbagai macam kesulitan yang teman-teman lain hadapi selama perjalanan. Dan untuk saya pribadi, melihat teman-teman lain kesulitan membuat saya semakin parno! Motor yang kami berdua pakai adalah motor besar, meningkatkan kesulitan dalam menahan beban dan menyeimbangkan posisi di jalanan. Hufth.

Masuk melalui Dago Giri, kami meneruskan laju motor menuju daerah yang biasa  disebut sebagai Dago Bengkok lalu Buniwangi. Memasuki daerah Buniwangi, beberapa teman sudah kesulitan karena motornya tidak kuat menaiki tanjakan. Tanjakan di daerah Buniwangi ini memang tergolong sangat tinggi; salah memasukkan gigi, tak bisa naik. Keluar dari Buniwangi menuju Maribaya, kami berbelok ke akses utama Maribaya menuju Subang melalui Wangunharja dan langsung disambut oleh tanjakan yang lebih menantang lagi dibandingkan dengan sebelumnya. Selain berkelok-kelok dan sangat curam, jalan menanjak ini juga licin. Perlu ekstra hati-hati saat melewati tanjakan ini.

Perjuangan keras harus kami alami lagi memasuki perbatasan Maribaya-Subang. Beberapa kilometer menuju Puncak Eurad, beberapa teman yang dibonceng, termasuk saya, harus turun dari motor karena jalanan super licin dan beberapa teman sudah ada yang terjatuh karena memaksakan untuk berkendara berdua. Bahkan beberapa motor dalam rombongan kami harus dipegangi oleh beberapa orang supaya tidak terjatuh.

Jalanan super licin, yang dibonceng harus jalan kaki

Berbeda dengan para pemotor yang berasal dari desa di sekitaran sana. Dengan motornya, membawa boncengan ataupun hasil panen luar biasa banyak, mereka meliak-liuk mahir tanpa harus tergelincir atau kesulitan mencari jalan. Tak ayal para pengendara motor itu adalah perempuan! Bukan main luar biasa mereka. Tak perlulah mereka membuat SIM, mungkin para polisi pun kalah telak dalam urusan mengendalikan motor di daerah seperti ini.

Setelah melewati Puncak Eurad dan daerah Bukanagara, kami menemukan sebuah Tugu Teh Walini. Betapa senangnya kami ketika akhirnya sampai di tugu tersebut. Tugu tersebut dikelilingi oleh bekas pabrik dan perumahan padat warga. Perumahan padat warga berarti satu hal: WARUNG NASI. Ya, saya capslock, penuh dengan penekanan dan teriakan dalam hati karena saya dan teman-teman amat sangat lapar saat itu! Dan voila, akhirnya warung nasi ditemukan tidak jauh dari tugu dan kami berkesempatan untuk mengisi bahan bakar untuk setelah dibanting-banting sepanjang perjalanan.



Sambil makan siang, kami berbincang sedikit dengan suami-istri pemilik warung perihal jalan menuju Subang. Alhamdulillah, mereka mengatakan bahwa jalan menuju Subang melalui Cupunagara yang akan kami lewati ini relatif sudah bagus dibandingkan jalanan sebelumnya. “Sebenarnya jalannya sempat tertutup dua minggu lalu karena longsor, tapi sekarang sudah bisa dilewati, jalannya juga sudah aspal kok sudah bagus,” katanya.

Mendengar hal seperti itu tentu saya sumringah. Saya dan teman-teman lainnya langsung meneruskan perjalanan melewati pegunungan yang berkelok-kelok dengan kondisi jalanan yang… ya, tidak lebih buruk dari jalur kami sebelumnya. Saya tekankan, tidak lebih buruk. Selain itu, kami melewati banyak titik longsor yang dibicarakan pemilik warung. Demi deh, saya sedikit merinding dan ketakutan, membayangkan longsoran yang bisa saja menimpa kami sewaktu-waktu. Lalu, seperti yang sudah diduga, hujan turun di tengah perjalanan. Padahal saya dan Tegar sudah sempat bercakap-cakap, “Wah, untung engga hujan. Kalau hujan, ini jalanan pasti udah licin banget dan gatau deh ini longsornya gimana!” Apa daya, kami kan tidak bisa menahan hujan turun.

Berbekal do’a dan tekad, kami meneruskan perjalanan di tengah derasnya hujan di balik pegunungan. Pemandangan bekas longsoran yang luar biasa besar di banyak titik membuat saya berdo’a semakin kencang dalam hati. Saya hanya ingin pulang ke rumah dengan selamat bersama dengan teman-teman. Itu saja. Tak terpikirkan lagi hal-hal lain.

Pohon tumbang sempat memutus akses jalan sementara

Di tengah kekhusyuan berdoa, laju motor kami sempat berhenti karena kerumunan teman-teman di depan. Semua turun dari motornya. Lalu, hal mengerikan yang saya takutkan terjadi. PEPOHONAN TUMBANG. Ya, pepohonan tumbang karena tanah tergerus hujan dan MEMUTUS satu-satunya akses jalan. Saya merinding disko dibuatnya. Teman-teman dan beberapa warga yang juga mau melintas lalu bahu-membahu menyingkirkan pohon tersebut. Teman saya yang ada di barisan depan sempat trauma, “maju sedikit, mungkin aku sudah tertimpa pohon, chik!” Sungguh, maut tak ada yang tahu kapan datangnya. Tapi, berkat perjuangan dari teman-teman, kami dapat lolos dan memasuki kota Subang dengan selamat dan utuh.

Sambil menyesap secangkir kopi dan menikmati keindahan perkebunan teh Ciater, kami beristirahat di warung kopi pinggir jalan sambil saling bercerita mengenai kesan perjalanan hari itu. Berbagai macam perasaan, kesan, dan pesan berhamburan di sesi sharing ini.

Pemandangan perkebunan teh Ciater dari warkop tempat singgah
Sungguh, perjalanan pertama saya menyusuri rute ini merupakan pengalaman yang membuat saya tak henti-hentinya membacakan ayat Kursi sepanjang jalan. Lucu juga kalau diingat. Banyak perjalanan ekstrim dan melelahkan yang telah kami lalui, tapi pengalaman yang saya alami dalam perjalanan ini tak akan pernah dapat terlupakan.


Bagi yang mau melihat video perjalanan kami, silahkan cek di bawah ini:


Senin, 25 Juli 2016

Kemah Pertama di Bumi Perkemahan Rancaupas





Sebagai seorang remaja berumur 22 tahun yang sehat walafiat dan sangat menyukai kegiatan jalan-jalan di alam terbuka, tentu saja aku sangat ingin menikmati yang namanya kemping. Iya, kemping yang itu, pasang tenda untuk bermalam di tengah hutan atau gunung atau alam terbuka lainnya, lalu memasang api unggun dan bercengkrama semalaman bersama dengan teman-teman. Sudah 22 tahun, tapi belum sekalipun aku merasakan yang namanya kemping. Menyedihkan, ya.

Berbagai hal menjadi alasan orang tuaku untuk melarangku ikut kemping, bahkan kemping yang dilaksanakan pihak sekolah atau kampus. Karena aku perempuan lah, aku mudah sakit lah, udara dingin lah, air kotor lah, binatang liar lah, ah pokoknya banyak alasannya. Sekarang, berhubung aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri, aku sedikit memaksa kedua orang tuaku untuk mengijinkanku pergi kemping bersama beberapa teman. Berbagai ucapan penuh desakan itu pun berhasil untuk membujuk orang tuaku menginjinkanku berkemah. Yaaay!

Tadinya, aku dan kelima temanku berencana untuk berkemah di Tegal Panjang, Papandayan. Alam yang indah benar-benar menarik perhatianku dan salah satu sahabatku yang gemar mengambil foto. Tegal Panjang tempat yang sangat cocok untuk hunting foto. Tapi, berhubung tempat tersebut merupakan kawasan konservasi dan illegal untuk memasukinya tanpa izin khusus, kami mengurungkan niat kami dan mencari tempat lain yang lebih dekat.

Well, sebenarnya karena restu orang tua yang tidak datang setelah aku menelpon mereka dan mengatakan akan pergi ke Tegal Panjang. “Nanti kalau kamu diserang harimau bagaimana?!”

Yowes. Gunung Puntang menjadi pilihan kedua kami. Setelah browsing kesana kemari, mencari tahu seperti apa itu Gunung Puntang dan Bumi Perkemahan Puntang, aku dan teman-teman memutuskan untuk pergi kesana. Keputusan ini diambil hanya beberapa belas jam sebelum keberangkatan. Kami memang sedikit nekad. Kami bahkan belum mempersiapkan apapun. Bahkan kami masih sibuk menghubungi penyewaan peralatan kemah yang sekiranya buka malam itu.

Sialnya, saat bangun dini hari untuk mempersiapkan keberangkatan, salah satu temanku memberitahukan bahwa area pendakian gunung Puntang ditutup untuk sementara karena longsor. Aaah, lagi-lagi rencana kami gagal. Kami terus berdebat untuk menentukan tujuan pegganti, hanya dalam waktu satu jam sebelum keberangkatan. Kami keukeuh ingin berkemah karena kami sudah meminjam tenda dan peralatan kemah lainnya. Sampai pada akhirnya, kami memutuskan untuk berkemah di tempat yang dekat dan sudah terjamin fasilitas umumnya, Bumi Perkemahan Ranca Upas. Iya, tempat kemah anak-anak SD dan Pramuka itu. Iya, yang berkemah tapi dikelilingi warung-warung Indomie yang buka 24 jam itu. Iya, tempat untuk kemping-kemping cantik itu.

Untuk menutupi kekecewaan karena hanya bisa berkemah di tempat yang tidak ada tantangannya, aku mengajak teman-teman untuk berkeliling perkebunan teh di Bandung Selatan sebelum akhirnya mencapai Ranca Upas. Aku masih ingat rute yang biasa aku lalui bersama Komunitas Aleut, tapi aku ragu karena jalanan yang cukup ekstrim dan cukup menyiksa tubuh. Setelah pertimbangan panjang dan diskusi dengan salah satu kawan di Komunitas Aleut, akhirnya aku kembali mengurungkan niat dan mengajak teman-teman melewati jalanan umum untuk mencapai Ciwidey. 

Aku memang orang yang senang mencari masalah selama perjalanan. Aku tidak menikmati perjalanan yang dekat dan cepat; bukan hanya tempat tujuan yang ingin aku nikmati, tapi juga perjalanannya. Karena itu, aku mengajak teman-teman untuk mampir sebentar ke Situ Patenggang sebelum memasuki kawasan Rancaupas.

Sebenarnya, kawasan Situ Patenggang ini lebih jauh 15 menit dari kawasan Rancaupas. Ketika kami berhenti sebentar di depan gerbang masuk Rancaupas, terlihat wajah-wajah lelah dan mengantuk dari teman-teman ketika aku meyakinkan mereka untuk meneruskan perjalanan ke Situ Patenggang. Namun, kunjungan kami kesana tidak disesali sama sekali. Indahnya pemandangan dan serunya obrolan selama berjalan-jalan di sana benar-benar menyegarkan tubuh.
 
Kami tidak berlama-lama di sana karena hari sudah semakin gelap dan akan sulit bagi kami untuk membangun tenda ketika hari sudah gelap. Tapi tetap saja, karena terdistraksi oleh jagung bakar di pinggir jalan, ujung-ujungnya kami sampai di Rancaupas lepas magrib. Alhasil, kami harus memasang tenda gelap-gelapan sambil sibuk meributkan soal tongkat besi mana yang harus dimasukkan ke lubang mana. Enam anak muda, gelap-gelapan memasang tenda, sibuk ribut sana sini soal tongkat dan lubang, alay memang. 

Setelah berhasil memasang tenda, perut-perut anak remaja ini bergejolak kelaparan. Kebetulan salah seorang teman membawa beberapa bungkus mie instan untuk dimasak. Aku pun sengaja meminjam kompor portable untuk memasak air dan beberapa makanan lainnya. Karena tidak tahu cara menyalakan kompor portable seperti itu, aku meminta salah seorang temanku untuk menyalakannya. Lalu, alamak… memang teman-temanku ini lucu nian, bukannya berhasil menyalakan kompor, mereka malah merusak kompor itu. Alhasil kami gagal masak dan memutuskan untuk makan di warung kopi tak jauh dari tenda.

Tegar dan Pace, dua oknum utama yang bikin semuanya gagal makan

 Puas makan, aku merasa ngantuk parah. Ditambah langit mendung yang tak menunjukkan bintangnya sama sekali, aku memutuskan untuk kembali ke tenda duluan untuk mempersiapkan lahan api unggun. Perjuangan menyalakan api unggun pun tidak mudah karena kayu yang temanku beli itu basah. Ingin rasanya menggetok kepala teman-temanku itu satu persatu. Hampir 2 jam kami berusaha menyalakan api sambil bercerita satu sama lain. Dari mulai cerita horror, cerita konyol sepanjang perjalanan, sampai curhat tentang tambatan hati masing-masing.



Puas bercerita, kenyang setelah makan malam, udara dingin ditambah dengan kehangatan api unggun, kelopak mata terasa semakin berat. Waktu menunjukkan pukul 02.00. Aku dan teman-teman memutuskan untuk tidur karena ingin bangun pagi buta untuk mengejar kabut. Tak disangka-sangka, hujan turun dan menghantarkan udara dingin yang amat sangat. Dua lapis jaket, dua lapis kaos kaki, dan bungkusan sleeping bag tidak cukup untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk. Untungnya tubuh ini terbiasa untuk menyukai hawa dingin; ketika teman-teman yang lain ribut karena kedinginan, aku tidur nyenyak sampai subuh.

Saat bangun di pagi buta, sesaat sebelum adzan Shubuh berkumandang, aku mengawang memikirkan segala hal yang telah dilalui kemarin. Kalau dipikir-pikir, ini pengalaman kemah yang lumayan kacau juga. Gagal memasak, gagal makan, gagal bikin api unggun dengan mudah, gagal melihat bintang, dan gagal melihat sunrise karena kabut super tebal. Tapi, buatku yang baru pertama kali berkemah seperti ini, pengalaman ini tetap menjadi salah satu pengalaman yang paling menyenangkan dan tak akan terlupakan seumur hidupku.

Mau kemping lagi? Mau banget! Tapi sepertinya aku harus mempersiapkannya dengan sangat matang supaya tidak gagal lagi seperti kemping kali ini :)

Senin, 18 Juli 2016

Istirahat di Situ Patenggang




Karena tidak memungkinkan untuk mengambil jalur pegunungan Malabar menuju Rancaupas, kami mengambil jalur via Banjaran untuk mencapai daerah Ciwidey. Tidak mau menyia-nyiakan perjalanan yang mungkin tidak dapat terulang dua kali, saya dan teman-teman memutuskan untuk singgah di Situ Patenggang terlebih dahulu sebelum masuk ke Rancaupas.

Sebenarnya, Situ Patenggang berjarak 15 menit lebih jauh dari Rancaupas. Kurang tepat rasanya kalau Situ Patenggang disebut sebagai persinggahan; kami memang sengaja mengambil jalan bolak-balik untuk menuju Situ Patenggang dan kembali lagi ke Rancaupas. Sebenarnya raga sudah lelah akibat perjalanan super macet dari Banjaran menuju Ciwidey, tapi kami sangat amat ingin menikmati suasana danau. Rasa lelah pun kami hantam.

Sudah lama sekali saya tidak berkunjung ke Situ Patenggang. Mungkin sudah 7-8 tahun lamanya. Terakhir saya kesini, sekitar setahun lalu, saya tidak turun sampai ke danau. Hanya menikmati pemandangan danau, hamparan kebun teh, dan kembali lagi ke Bandung (asli gak ada kerjaan banget). Begitu saya menapakkan kaki kembali di sini, ternyata suasana sudah sangat berubah. Sangat amat ramai; faktor libur lebaran mungkin menjadi salah satu pendukung keramaian ini. Jajaran kios-kios kuliner dan oleh-oleh memenuhi jalan setapak menuju gerbang masuk danau. Sampah pun tak lolos dari pandangan. Sayang sekali.

Di samping itu semua, danau ini masih sangat indah untuk dipandang. Karena kami datang di sore hari, terlihat kabut tebal turun menutupi bukit-bukit perkebunan teh yang mengelilingi Situ Patenggang. Udara pun sangat sejuk, menambah kenyamanan untuk berkeliling di sana. Saat diperhatikan lagi, walaupun jalanan setapak penuh dengan sampah, di danau itu sendiri tidak terlihat sampah sama sekali, Alhamdulillah. Ini berarti pengunjung masih bisa menjaga kelestarian Situ Patenggang walaupun tidak secara utuh.

kabut tebal menyelimuti Situ Patenggang



Selain berjalan-jalan di sekitar danau, pengunjung juga dapat menaiki perahu yang akan membawa kita menuju ‘Pulau Cinta’, pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Patenggang. Dengan membayar sekitar …. Ribu/perahu, kita akan diantar menuju Pulau Cinta dan berkeliling Situ Patenggang dari ujung ke ujung. Tapi tanpa menaiki perahu pun, kita masih dapat berjalan kaki mengelilingi Situ kok. Hemat itu indah.
  
Untuk mengunjungi Situ Patenggang, dari alun-alun Ciwidey kita hanya perlu mengikuti jalan lurus terus melewati kawasan wisata Ciwidey Valley, Pemandian Air Panas Cimanggu, Ranca Upas dan Kawah Putih. Tidak akan tersesat walau pertama kali ke daerah sini, kok. Di sisi kiri jalan, beberapa belas meter sebelum pintu masuk, akan ada plang yang akan menjadi penanda pintu masuk Situ Patenggang. Kita akan dikenakan biaya sebesar Rp 18.500/orang dan Rp 3.000 untuk biaya masuk motor. Sedangkan untuk mobil akan dikenakan biaya sebesar Rp 5.000. Harga yang cukup mahal untuk sekedar memasuki wilayah danau. Tapi aku tidak bisa membayangkan apabila harga tiket lebih murah; dengan harga yang segini saja, masih banyak pengunjung tak tahu aturan yang tak bisa menjaga lingkungan.

ngaso sebentar di sisi lain Situ Patenggang


Setelah puas mengelilingi danau dan mengambil banyak foto, kami akhirnya meneruskan perjalanan menuju Rancaupas. Akankah kami (atau saya) kembali kesini? Hmmm… masih banyak alternatif liburan lain yang lebih murah meriah dan sama indahnya dengan Situ Patenggang, maybe in the next special occasion.