Facebook

Kamis, 18 Februari 2016

Catatan Perjalanan: Menuju 1800 mdpl, Perkebunan Negla


Menuju 1800 mdpl, Perkebunan Negla

“…jatuhlah beberapa helai daun dari sebuah pohon yang letaknya tidak jauh dari tempat menjerang air. Air dalam periuk tersebut berubah warna menjadi merah jingga dan menyebarkan bau harum menyegarkan.” – Kisah Para Preanger Planters, Her Suganda.

Selamat Datang di Perkebunan Sedep
           Kecintaan saya pada minuman teh dan perkebunan teh membuat setiap perjalanan bersama Komunitas Aleut yang berhubungan dengan perkebunan membuat saya sangat bersemangat. Tidak terkecuali perjalanan menuju perkebunan Negla yang saya ikuti pada hari Jumat (12/02/2016) yang lalu. Perkebunan Negla merupakan salah satu dari rangkaian perkebunan teh Priangan yang terletak di perbatasan antara Kab. Bandung dengan Garut Selatan. Perjalanan bisa ditempuh selama 3-4 jam dengan motor, kalau lancar. Ya, kita tidak pernah memprediksi keadaan lalu lintas dan jalanan yang akan kita hadapi. Jadi anggap saja 3-4 jam itu adalah waktu tercepat mencapai perkebunan Negla.

                Ketika saya dan teman-teman berangkat menuju Negla, keadaan jalanan cukup padat. Kami sengaja mengambil jalan melalui jalur Pacet untuk menghindari kemacetan yang berlebihan. Untuk menuju Pacet, kami mengambil jalan ke arah Ciparay melalui Jl. Terusan Buah Batu. Melewati daerah Dayeuh Kolot, kami mengambil jalan lurus terus sampai tiba di Terminal Ciparay. Di sana kami berbelok ke kanan, memasuki Jalan Raya Pacet, lalu terus menanjak ke Lembur Awi. 

Daerah Lembur Awi—Maruyung—Pacet—Cibeureum ini terkenal akan budidaya perkebunan sayur mayurnya. Sepanjang jalan kami tak henti-hentinya disuguhkan oleh pemandangan indah perkebunan dengan latar belakang pegunungan yang mengelilingi Bandung. Ketika terus berjalan ke arah atas, kami dipertemukan dengan wilayah perkebunan Talunsantosa dan Situ Cisanti. Namun kami tidak lantas berhenti disana. Perjalanan masih sangat jauh, bahkan jauh dari setengah perjalanan. 

Saat melewati perkebunan Talunsantosa, kami melewati pula Pabrik Teh London Sumatra Kertasari. Karena perkebunan Talunsantosa ini sangat luas, wilayahnya dibagi dua untuk Pabrik Santosa dan Pabrik Kertasari. Kami melewati Pabrik Teh Santosa setelah melintasi jalan selama beberapa kilometer ke depan. Nah, beberapa meter saja dari pabrik Santosa, kami berhenti di sebuah pertigaan dengan tugu di tengahnya. Tugu ini memberikan petunjuk arah yang sebenarnya diperuntukan mereka yang berkendara dari arah Pangalengan. Kami yang datang dari arah Pacet, seharusnya mengambil belokan ke kiri menuju Sedep. Namun kami memutuskan untuk berkunjung sebentar ke sebuah bendungan, yang tidak jauh dari pertigaan tersebut ke arah Pangalengan, yang bernama Bendung Tjilaki. Untuk cerita lengkap pengalaman saya di Bendungan Tjilaki, bisa cek catatan post setelah post ini.

Tugu Penunjuk di pertigaan Santosa-Sedep

 Kami kembali ke arah pertigaan dan mengikuti arah petunjuk tugu menuju Pabrik Talun dan Sedep. Tidak jauh dari pertigaan, kami sudah bisa melihat pabrik Talun beserta dengan rangkaian wisma dan rumah-rumah admin yang masih identik dengan arsitektur jaman Hindia-Belanda. Tapi, berbeda dengan jalan dari Pacet sampai dengan Pertigaan Sedep-Pacet-Pangalengan tadi, kontur jalan dari mulai perkebunan Sedep menuju Negla bisa terbilang masih sangat berat. Ya, berat. Jalanan yang tidak rata, penuh dengan bebatuan tajam, dan lubang-lubang tak terduga kami temui sepanjang perjalanan terutama setelah melewati pabrik Sedep. Kaki tangan pegal dan pantat sakit menjadi hal yang pasti dirasakan selama perjalanan ini. Namun semua rasa sakit dan pegal yang kami rasakan terobati begitu sampai di perkebunan Negla, tepat 1800 meter di atas permukaan laut, menyebar di wilayah kaki Gunung Kendang dan Gunung Puntang. 

Jalanan menuju perkebunan Negla

Karena cuaca tidak mendukung dan hujan turun semakin deras, dengan sangat terpaksa kami meninggalkan perkebunan Negla setelah memotret landscape perkebunan dan rumah admin beberapa kali. Hanya ada satu jalan pulang menuju Bandung, yaitu melewati jalanan berbatu tajam yang kami lewati saat menuju Negla sebelumnya. Betapa terkejutnya kami ketika hujan semakin deras dan jalanan tergenang layaknya sungai dangkal dengan aliran air yang deras. Menyeramkan. Mengingatnya saja membuat badan saya sakit semua. Selain itu, tak mengindahkan hujan deras dan jalanan berbatu, kami menambah masalah dengan mengambil jalan pulang memutar melewati Cibatarua. Derasnya hantaman tetesan hujan ke wajah dan kerasnya jalanan tak membuat kami gentar; teman-teman saya tak gentar, saya sih sudah menyerah dan pasrah mau dibawa kemana pun. Dari Negla ke Cibatarua, lalu melewati Kampung Datar dan Kampung Cisarua, sampai pada akhirnya kami keluar lagi di Perkebunan Sedep dan dapat melanjutkan perjalanan pulang menuju Bandung melewati jalanan mulus beraspal di jalur Pacet.

Kami akhirnya tiba kembali di Kedai Preanger sekitar pukul 19.00 dengan seluruh tubuh pegal-pegal dan kedinginan parah yang disebabkan guyuran hujan selama perjalanan pulang lebih dari 4 jam lamanya. Apakah saya kapok? Tentu saja tidak! Wangi klorofil yang keluar saat daun teh diolah, semerbak harumnya menyebar di sepanjang perjalanan melewati daerah pabrik teh; suatu pengalaman yang tidak pernah dapat terlupakan apabila berkunjung ke area perkebunan teh khususnya di kawasan Bandung Selatan. Itu pula yang saya rasakan selama perjalanan menuju perkebunan teh Negla. Sejuk dan jernihnya udara, suhu yang dingin, kabut yang cantik dan tebal, wangi klorofil yang menyebar di udara sekitar pabrik teh, selalu dapat membuatku terangsang untuk kembali lagi kesana. Yang pasti, sepertinya saya harus menyiapkan stok jaket hujan dan jaket penahan angin supaya tak kedinginan dan bantal kecil supaya pantat saya tidak lagi tepos sepanjang perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar