Facebook

Minggu, 16 Juli 2017

Perjalanan ke Sayang bersama si Sayang: Sayang Heulang, Pameungpek, Garut

Tulisan pertama di tahun 2017 ini juga menjadi penanda setahun berlalu sejak terakhir kali aku menulis catatan perjalananku. Bukan berarti aku tidak bepergian kemana-mana dalam setahun ini, hanya saja kesibukan kerja menjadi alasan sampah utama untuk ‘hiatus’ dari menulis.

Lalu, apa gerangan yang jadi pencetus keinginanku untuk menulis kali ini? Entahlah. Di satu sisi, aku ingin membagikan berbagai informasi berguna yang dapat dibaca bagi orang yang akan mengadakan perjalanan serupa. Di sisi lainnya, aku ingin membanggakan diriku pada dunia mengenai perjalanan menyenangkan yang aku lakukan bersama dengan pasanganku. Kupikir, alasan yang kedua tentunya lebih umum, kan? So, selamat membaca tulisan perjalanan super panjang khas Anak Kota Story!




Jadi, setelah memiliki rencana yang tak kunjung juga terealisasikan bersama teman-teman, akhirnya aku dan pasangan memutuskan untuk segera pergi ke pantai. Tak ada satupun dari kami berdua yang mengetahui tentang kondisi jalanan dan lokasi dari pantai yang akan kami kunjungi ini, Santolo dan Sayang Heulang. Semuanya murni bermodal dari sedikit sumber yang ada di Internet. Waktu perencanaan dan persiapan bekal pun kami lakukan seadanya dengan mindset “yang penting ada makanan dan disana ga lapar”. Begitupun dengan izin kepada orang tuaku yang dilakukan sangat mendadak, satu malam sebelum kepergian.

Karena kami berdua tahu pasti bahwa kami tidak diizinkan bermalam di lokasi, kami memutuskan untuk pergi pagi sekali dari Bandung dan berencana untuk pulang setelah Ashar nantinya. Tepat pukul 06.00 pagi kami meluncur dari pusat kota Bandung ke arah Ujung Berung sesegera mungkin sebelum jam kemacetan dimulai.

Sebetulnya ada dua rute untuk menuju pantai di kawasan Garut ini; yang pertama melalui Pangalengan, dan yang kedua melalui Cikajang Garut. Karena kami belum terlalu mengenal jalur selatan Pangalengan, kami memutuskan pergi melalui Cikajang Garut.


Sekitar 2 jam lamanya kami berkendara dengan motor berkecepatan tinggi sampai akhirnya sampai di Tarogong, Garut. Kami hanya berhenti sekitar dua kali untuk membeli minum dan mengisi bensin. Karena itu, jangan harap kalian dapat menempuh waktu yang sama kalau bawa motornya santai dan banyak berhentinya. Di Tarogong, kami melanjutkan perjalanan menuju Cikajang melalui Garut Kota. Perjalanan dari Tarogong menuju Cikajang ini sendiri membutuhkan waktu sekitar 1 jam lamanya. Tentu saja jaraknya lumayan jauh ya. 

Salah satu pemandangan dari daerah Gunung Gelap

Nanti, ketika kalian sudah melewati Alun-Alun Kota Garut, kalian lurus saja terus sampai menemui lampu merah. Dari lampu merah tersebut langsung belok kanan. Di sebelah kiri kalian, akan ada papan yang memberitahukan informasi mengenai jarak dari titik tersebut menuju lokasi wisata Pantai Selatan yang ada di Garut. Dari titik tersebut menuju Pantai Sayang Heulang sendiri lumayan jauh, sekitar 84 km. Ya, dengan jarak segitu kalian sudah bisa sampai Sukabumi kalau berangkat dari Bandung. Jauh banget? Banget!

Sesampainya di daerah Cikajang, hujan mulai turun. Untungnya kami membawa jas hujan yang nyaris saja kami simpan mengingat pemikiran “Ah, mau ke pantai mah pasti panas, ga akan hujan!”. Iya, itu kalau kalian pergi ke Pelabuhan Ratu atau pantai-pantai lain di daerah Utara. Aku akhirnya tahu kalau untuk menuju Pantai Selatan, kami harus melewati perkebunan teh dan puncak pegunungan tinggi yang ditutupi kabut tebal. Dinginnya jangan ditanya, rasa sedih masih terasa ketika mengingat tangan pasangan yang sampai mati rasa karena menahan dingin sembari mengendarai motor. Kabut tebal ketika melewati pegunungan pun membuat jarak pandang berkurang hanya sampai 100 meter saja. Jalanan yang berkelok kelok dan rusak di beberapa titik pun membuat waktu tempuh perjalanan menjadi sangat lama. Dari perkebunan teh Cikajang sampai tiba di kota Pameungpeuk, kami membutuhkan waktu 2 jam.


Dua jam penuh rasa putus asa dan mati rasa.

Tapi tenang, ketika sudah sampai di Pameungpeuk, kalian akan merasakan hangatnya udara khas daerah pesisir pantai. Walaupun sebetulnya sama saja dengan udara kota Bandung di siang hari. Matahari mulai muncul dan menghangatkan badan kami. Ketika melihat pemandangan sekeliling, akupun dapat melihat ujung dari persawahan yang aku yakiinnnn sekali kalau itu adalah pantai. Setelah meyakinkan diri dengan bertanya kepada warga sekitar, kami segera meluncur ke Pantai Sayang Heulang. Sekitar pukul 11.00 kurang kami akhirnya benar-benar sampai di sana

Saat kalian sampai di sana, akan ada gerbang dengan pos penjagaan yang memberikan tiket masuk. Tenang saja, penjaganya resmi dari Dinas Pariwisata Garut kok. Hanya dengan membayar 5ribu/orang kalian sudah bisa masuk dan tanpa biaya parkir ataupun pungli-pungli lainnya. Murah meriah! Begitupun kalau kalian nanti mau masuk ke Pantai Santolo, 5ribu rupiah untuk tiap orangnya dan bebas menikmati pantai setelahnya.

Ombak di pantai selatan memang tergolong ganas dan berbahaya. Begitupun di pantai Sayang Heulang ini. Ombaknya luar biasa dan anginnya membuatku oleng berkali kali ketika berjalan. Saranku sih, kalau mau main air tunggu sekitar pukul 14.00. Pada siang menjelang sore hari, air laut akan surut dan pantai menjadi aman untuk disinggahi. Bahkan kalian bisa berjalan sampai hampir ke tengah pantai. Kalian bisa makan siang atau main-main di pinggir pantai untuk menunggu surut tiba.

Air laut belum begitu surut tapi sudah bisa coba berjalan ke tengah pantai

Kalau sudah surut, kondisi pantai jadi amat sangat indah! Karang dan rumput laut terlihat jelas di dasar pantai karena airnya sangat jernih dan bersih. Selain itu, kalian bisa mampir ke pulau Santolo hanya dengan berjalan kaki. Itupun kalau kalian mau. Daripada naik perahu 20ribu saat air laut masih pasang. Aku sih pilih yang gratisan.

Kalau air laut sudah surut, kalian bisa melihat banyak nelayan yang berjalan sangat jauh ke batas ombak untuk mencari kerang segar. Di pinggir pantai pun banyak sekali warga yang selesai menjemur rumput laut untuk diolah menjadi berbagai macam makanan sedap. Sinar matahari yang menuju terbenam akan mempercantik pemandangan di sekitar pantai. Lovely!



Oiya, kalau mau menginap, masih ada banyak sekali penginapan dengan kisaran harga 100rb-200rb semalam. Kami sempat ditawari menginap oleh seorang warga di sebuah pondok kayu tepat di pinggir pantai. Kalau dilihat dari luar, bisa dihuni sampai 6-7 orang. Coba tebak harganya, 200 ribu rupiah saja pemirsa!!! Gila, jaman gini 200 rebu doaaang. Udah gitu, pas aku coba tanya harga penginapan lainnya, harganya ternyata sama rata 150ribu sajah! Wih, mantep bener. Kalau di daerah pantai terkenal lainnya, mana bisa dapat penginapan dengan harga segitu. Bebas pula mau disii berapa orang.

Bukan hanya keindahan laut dan murahnya fasilitas disana yang membuat aku kagum, ketiadaan pungli, fasilitas masjid yang sangat bagus, dan juga keamanan disana sangat aku apresiasi. Motor bisa diparkir di gazebo yang dapat digunakan gratis, barang-barang pun bisa kita simpan di sana, dan semuanya aman selagi kita bermain air. Aku sempat meninggalkan motor dan tas sekitar sejam lamanya dan semuanya masih aman.

Kesenangan kami di pantai harus diakhiri ketika adzan ashar berkumandang. Tanda sore hari telah tiba dan kami tahu dengan jelas bahwa kami harus dapat melintasi pegunungan sebelum matahari benar-benar tenggelam.




Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada laut yang indah, aku dan pasangan akhirnya melakukan perjalanan pulang dengan rasa sedih. Sedih karena harus berpisah dengan laut dan sedih mengingat betapa jauh dan sulitnya perjalanan melintasi pegunungan dingin dan berkabut.

Untuk kalian yang mau melakukan perjalanan menuju Sayang Heulang dan Santolo menggunakan jalur Cikajang Garut, aku sarankan beberapa hal:
  • ·   Gunakan jaket dan pakaian tebal serta selalu sediakan jas hujan. Daerah Cikajang-Pameungpeuk terletak di pegunungan. Walaupun cuaca sedang cerah, kabut akan tetap ada dan udara pun akan tetap sangat dingin.
  • ·   Beli bensin cadangan yang dimasukkan dalam botol untuk bekal perjalanan. Kami menghabiskan sekitar ±8L bensin untuk perjalanan pergi pulang. Tentu disana banyak pertamini bersliweran sepanjang jalan, namun harganya beda jauh dengan di kota. Kalau mau berhemat, saran aku sih bekal saja J
  • ·     Berangkat pagi sekali dan pastikan kendaraan dalam keadaaan prima. Ketika memasuki pegunungan, kalian akan menghadapi jalan berkelok menanjak dan menurun. Pastikan ban tidak licin dan rem berfungsi sempurna, pun lampu menyala terang.
  • ·       Kalau tidak mau bermalam di sana, pulang sebelum pukul 16.40. Kenapa? Karena jalanan di area pegunungan sangat gelap tanpa penerangan, sepi, dan rawan kecelakaan. Kendaraan pun tidak bisa meaju terlalu kencang karena jalurnya yang berkelok. Tentunya kalian tidak mau sampai rumah terlalu malam dengan kondisi jalanan yang banyak begalnya akhir-akhir ini.
  • ·         Tidak usah repot-repot keluar area Sayang Heulang kalau mau ke Santolo. Cukup tunggu sampai air surut dan kalian bisa berjalan kaki menuju pulau Santolo. Motor pun bisa langsung dibawa menuju kawasan Santolo dengan menyusuri bibir pantai.  


Lalu bagaimana dengan budget pengeluarannya? Sebenarnya semua tergantung dengan kondisi masing-masing. Kami sendiri mengularkan sekitar 80ribu untuk bensin, 20 ribu untuk tiket masuk dan beberapa biaya parkir di luar daerah pantai, dan sampai 100 ribu untuk jajan dan makan. Tentunya semua bisa disesuaika dengan kebutuhan dan kondisi kalian. So, have a fun trip there. Feel free to ask in the comment section below!           

Minggu, 28 Agustus 2016

Sungai, Sneakers, dan Jalur Menanjak Itu: Perjuangan Mencapai (dan Pulang Dari) Sanghyang Heulut



Sepatu sneakers sudah menjadi bagian dari hidupku. Dari jaman masih duduk di bangku SD sampai dengan lulus kuliah, sepatu sneakers tidak pernah hilang dari rak sepatu (ya of course beli baru setiap 1-2 tahun sekali). Pergi ke sekolah, kampus, mall, tempat-tempat wisata lainnya, sepasang sneakers selalu menemani; well, walaupun kehadirannya seringkali tergantikan oleh flat shoes dan heels di beberapa acara tertentu. Buatku, memakai sneakers bahkan lebih nyaman daripada memakai running shoes. Karenanya, sneakers selalu jadi pilihanku ketika melakukan perjalanan jauh-dekat, basah-kering, menanjak-menurun.

Di hari Minggu 14 Agustus 2016 silam, aku dan rekan-rekan dari Komunitas Aleut melakukan perjalanan menuju Sanghyang Heuleut yang berada di daerah PLTA Saguling, Rajamandala, Kab. Bandung Barat. Di rumah aku sempat terdiam barang 10 menitan, memikirkan alas kaki apa yang harus kupakai hari itu. Aku sama sekali tidak tahu kondisi jalanan seperti apa yang akan aku hadapi. Hmm.. sandal gunung atau sneakers? Tapi nanti kaki gosong karena momotoran, sneakers aja deh. Ya, hanya karena alasan takut kaki gosong kepanasan, aku pilih sneakers. Pathetic.

Perjalanan hari itu lumayan panas. Dalam hati aku bersyukur karena memakai sneakers. Alhamdulillah, at least kaki gak gosong, pikirku sambil memandang lokasi pertama perjalanan kami, Shanghyang Tikoro. Yap, untuk mencapai Shanghyang Heuleut, ada dua lokasi shanghyang-shanghyang yang kami lewati. Shanghyang Tikoro ini, shanghyang pertama, merupakan sebuah gua yang di dalamnya mengalir sungai menuju bawah tanah. Shanghyang Tikoro seringkali dikaitkan dengan legenda Danau Bandung Purba. Terlepas dari benar atau tidaknya perihal tersebut, Shanghyang Tikoro layak untuk dikunjungi. Coba deh kesana dan perhatikan mulut gua tersebut. Seperti mulut orang yang menganga lebar dengan aliran sungai yang seperti air minum, masuk ke tenggorokan dan pergi entah kemana.



Puas mendengarkan pemaparan tentang Sanghyang Tikoro dari Pak Abang, aku dan teman-teman meneruskan perjalanan ke Sanghyang Heuleut. Setelah sebelumnya ngobrol-ngobrol dengan para pedagang sekitar, muncullah keyakinan bahwa lokasi tujuan dapat ditempuh kurang lebih 1,5 jam saja. Terlena dengan jalanan aspal yang membentang di depan mata, aku kira jalanan menuju Sanghyang Heuleut memang akan selalu semulus itu. Kan jadi ingin ketawa ya…

Memasuki kawasan belakang pipa besar PLTA Saguling, kami mulai berjalan di pinggiran melawan arus sungai. Jalanan tentu saja tidak beraspal dan semulus tadi. Tanah, bebatuan, dan rumput menjadi pemanis wajib jalanan yang kami lewati. Wajar tentunya, tapi karena semalam hujan, ada beberapa titik yang licin dan tergenang air. Cukup untuk membuatku loncat-loncat kecil demi menghindari sepatu basah atau kotor kena lumpur. Nah, setelah kurang lebih berjalan sejauh 1KM di tengah udara panas ngaheab, kami bertemu dengan Shanghyang Poek, sanghyang yang kedua.

Sanghyang Poek merupakan sebuah gua purbakala yang terbentuk di kawasan batu gamping. Bentuknya landscape miring-miring gimana gitu, jadi ketika kami masuk ke dalamnya, seringkali kami harus berjalan sambil menunduk. Di dalamnya, terdapat stalakmit dan stalaktit yang buricak burinong kayak berlian… Berkelap-kelip indah, apalagi ketika terkena sinar lampu/senter. Gua ini gelap, banget, dan licin, banget. Terhitung tiga empat kali aku tergelincir ketika berjalan di dalam gua. Ya tas berat, ya harus pegang senter, ya sneakers licin… Mulai timbul penyesalan mengapa tadi pagi tidak pada sandal gunung saja… Ah, tapi banyak juga kok yang tergelincir. Berarti bukan masalah sepatunya, emang bebatuannya saja yang licin.



Di ujung gua, cahaya matahari menerobos, menyesuaikan mata dengan pemandangan sungai dan bebatuan yang menakjubkan. Yah, sayang sekali kemarin malam hujan, jadi air tidak begitu jernih. Tapi tetap saja, buatku pemandangan seperti ini baru bisa kunikmati setelah 22 tahun lamanya hidup di dunia. Tak lama menikmati pemandangan aliran sungai, beberapa orang di depan memanggil untuk turun ke bawah, ke sungai. Yap, ke sungai. Ternyata, untuk mencapai Shanghyang Heuleut, kami harus melewati sungai ini.

Loncat sana sini, menghindari air sana sini, menapaki batu sana sini, semuanya aku lakukan dengan penuh debaran. Bebatuan licin karena semalam hujan. Aliran air pun terlihat lebih deras dari biasanya. Aku takut tergelincir, takut jatuh. Kalau nanti jatuh, terus basah, terus sakit, terus benjol, gimana? Kalau sneakersku basah, gimana? Aku tidak membawa sandal, karena itu dag-dig-dug rasanya sepanjang perjalanan. Tapi memang dasar namanya Chika, sehati-hati apapun, pasti jatuh juga. Bukan rasa sakit atau malu yang aku rasakan; lucu. Saking lucunya, saat terbangun dari jatuh, aku dan Akay malah tertawa keras. Duh, memang dasar olegun.

Tenang, aku tidak akan menyalahkan siapapun untuk rute perjalanan luar biasa menuju Sanghyang Heuleut ini. Seharusnya, berdasarkan pengalaman miris sebelumnya, aku harus siap sedia memakai sandal gunung di setiap perjalanan. Gak usahlah sok tampil kece dengan sneakers. Toh ujung-ujungnya berlumpur, ujung-ujungnya basah, ujung-ujungnya pulang dimarahin mamah. So, untuk para pembaca yang mau mencapai Shanghyang Heuleut dari Sanghyang Poek, gunakanlah alas kaki terbuka dan anti selip, yah. Budayakan sandal gunung!



“Berapa puluh menit lagi kira-kira, Bang?” tanyaku sambil mencuci sepatu di pinggiran sungai untuk kali pertama seumur hidup, sementara yang lain beristirahat di sebuah warung.

“Yah sekitar 20-30 menit lagi lah dari sini.” Katanya, terdengar menenangkan dan meyakinkan. Ah, tapi memang dasar, seharusnya aku tahu perjalanan tidak akan secepat dan semudah yang dikatakannya. Lebih dari 40 menit kami berjalan, mendaki, melewati hutan, bebatuan, aliran sungai, aliran keringat, aliran keluhan dan sumpah serapah… sampai pada akhirnya kami melihat sebuah tempat yang dipenuhi orang-orang lengkap dengan warung di pinggirannya. Ah, Sanghyang Heuleut!

Jadi, Sanghyang Heuleut ini merupakan sebuah danau kecil indah yang tersembunyi di antara gunung di kawasan PLTA Saguling. Legendanya sih, ini adalah danau tempat dayang sumbi dan bidadari-bidadari lainnya mandi tuh… Karena keindahannya, banyak orang yang sengaja mau capek-capek datang kemari. Itu tuh, traveller gaul di Instagram kan banyak yang posting foto Sanghyang Heuleut yang indah banget itu… Sayangnya, kami datang setelah hujan cukup deras semalam. Karena itu, kami harus cukup puas hanya dengan bermain air dan bercengkrama melepas rasa lelah dari perjalanan tadi.



Karena hari sudah semakin sore, kami memutuskan untuk segera pulang sebelum jalanan menjadi gelap. Berat rasanya untuk meninggalkan Sanghyang Heuleut. Well, berat rasanya menapaki kembali jalanan jahanam itu. Rasanya tenaga terkuras habis hanya dengan memikirkan perjalanan pulang. Untungnya, kami sepakat untuk melalui jalan kedua (tidak melewati sungai) untuk kembali ke parkiran. Jalanannya melintasi gunung, katanya. Aku tersenyum memandang sneakersku, kamu ga akan kotor dan basah lagi, Alhamdulillah. Bye sungai dan bebatuan jahanam~

Kutarik lagi ucapan syukur yang sebelumnya aku ucapkan. Perjalanan pulang kami lebih mengerikan dari perjalanan perginya! Jalanan menanjak yang tak ada habisnya harus kami lewati sepanjang perjalanan. Naik, naik, naik, dan terus naik sampai keringat dan nafas habis. Yang muda dan berbadan kecil terus berada di depan, yang sudah berumur dan jarang olahraga tertinggal jauh di bawah. Rasa lelah perjalanan pergi yang masih tersisa 50% bertambah 150% karena jalan menanjak itu. Mengingatnya saja membuatku lelah dan pegal…

Keluar dari jalur pendakian, kami berada jauh di atas pipa-pipa besar PLTA. Kemiringan 45o yang membuat kepala pusing luar biasa harus aku tahan supaya tidak jatuh terguling. Oleng sedikit, bisa gawat. Kelompokpun terbagi dua, mereka yang pergi melalui jalur ke atas, dan mereka yang ambil cepet menuju jalur bawah… Sebagai anak muda yang tak boleh takut akan hal baru, aku coba jalur bawah. Dah hasilnya?? Mual. Capek, mual, pusing, haus, berkeringat, kaki lecet karena pake sneakers basah tanpa kaos kaki, tas berat… Ya ampun Chika, jadi anak kota gini-gini amat sih.




Well,

Setelah perjalanan parkiran-Sanghyang Heuleut-parkiran yang mengenaskan itu, walaupun sudah 2 minggu lamanya berlalu, masih terbayang setiap langkahnya di pikiran. Licinnya, gelapnya, panasnya, jauhnya, menanjaknya, basahnya, pusingnya, jatuhnya, keindahannya, kesegarannya, segalanya.

Ketika mendengar pengalaman perjalananku, teman-teman sering bertanya, “Kok kamu bisa sih kayak gitu, Chik?? Aku sih ga akan kuat da mau pulang aja.” Yah, akupun tidak tahu. Kadang merasa diri ini bego dan olegun. Tapi tanpa perjalanan seperti itu, hidup sepertinya akan sarat akan kenangan. Tidak akan ada hal yang dikenang dan ditertawakan bersama teman seperjalanan.  Tidak akan ada teguran khawatir dari mamah yang hariwang setiap aku pulang ke rumah dalam keadaan mengenaskan. Tidak akan ada cemberut sambil nyikat sneakers yang semakin hari warnanya semakin luntur karena keseringan dicuci.


Yang jelas, tanpa perjalanan dan kenangan itu, tidak akan ada tulisan dan pengalaman untuk dibagikan. Karena perjalanan-perjalanan si anak kota yang penuh kebodohan itulah, blog ini ada dan terus hidup.

Kamis, 18 Agustus 2016

Pertemuan Senja Itu, Bersama Pak Wen



"Panggil aja Wen, Pak Wen. Hehe." jelasnya sembari tertawa kecil saat kutanya namanya. Bapak penjual rujak tumbuk ini mulai memotong buah-buahan yang dia ambil dari kotak.

Di depan Kedai Preanger, Jl. Solontongan 20D, inilah aku bertemu dengan seseorang yang kutetapkan layak menjadi sosok mulia KNB. Terima kasih pada Pak Ridwan yang memanggil Pak Wen ini dari dalam kedai, aku berkesempatan untuk berbincang mengenai perjalanan hidupnya, walau hanya sebentar.

"Kalau di sini mah cuma bapak Ridwan aja yang beli rujak bapak, neng. Yang lain mah ga ada yang mau..." ujar Pak Wen tiba-tiba saat aku sedang asyik melihatnya menumbuk buah. Aku tersenyum sedih mendengarnya.

Sudah 19 tahun lamanya beliau berjualan rujak tumbuk. Sendirian di Kota Bandung tanpa keluarga, Pak Wen hanya dapat pulang 2 bulan sekali ke kota asalnya Garut ketika ada rejeki. "Itupun palingan 2 hari, neng. Da di sana mah bapak gabisa kerja begini... Malu sama tetangga. Malu sama cucu bapak."

Dari 9 orang anak yang dia miliki, beliau sudah memiliki 13 cucu. Namun hanya 2 anak yang tetap tinggal bersama dengan istrinya di Garut. "Yah yang lainnya mah... ya gitu we neng.. pokoknya cuma dua yang tinggal sama bapa sama ibu." jawab Pak Wen saat kutanya perihal sembilan anaknya.

Bertempat tinggal di Jl. Maleer, Gatot Subroto, Pak Wen tidur berdesak-desakan dengan 8 orang lainnya di sebuah ruangan 4x4meter. Keseluruhannya adalah penjual rujak tumbuk juga. Iuran kontrakan sebesar 1 juta perbulan harus mereka bayar dengan berpatungan. Kalau tak begitu, tak tahu harus dimana mereka tidur.

Lahir di tahun 1943, umurnya yang menginjak 73 tahun tak jadi alasan untuk berhenti bekerja. "Ya, uang mah dicukup-cukupin aja lah neng. Ya gimana da cuma gini jualan bapak mah." Yap, dari seporsi rujak tumbuk yang dia jual, tak besar keuntungan yang dia dapatkan. Itu pun masih harus dia bagi untuk bayar kontrakan, makan sehari-hari, membeli buah-buahan lagi, pulang ke Garut, dan diberikan pada istri.

"Pak, itu tangan dan kakinya... Kenapa?" tanyaku khawatir saat melihat kondisi kulit dan tangannya.

"Ah. Bapak pernah dagang gorengan tahun 84. Pas lagi bawa katel isi minyak panas, aya barudak ti pengker. Nabrak bapak dari belakang te. Si katel tumpah, ya badan bapak kebanjur minyak panas. Bapak gabisa ngapa-ngapain selama 2 tahun... Stress bapak.." jawabnya sambil mengelus tangan dan kakinya.

Tak banyak yang aku bicarakan dengan beliau. Bahkan tak teringat untuk melihat KTP-nya. Perasaan miris terus datang seiring berbicara dengan Pak Wen.

"Bapak, nanti kalau lewat sini lagi dan ada saya atau Pak Ridwan mah, masuk aja ya pak... Bisi ga keliatan. Hatur nuhun, Pak. Sing lancar usahana... Rejekina lancar..." ujarku menutup pembicaraan dengan Pak Wen.

"Muhun, neng. Hatur nuhun pisan." jawabnya sambil menanggul kembali tanggungannya dan berjalan menuju rute dagang selanjutnya, daerah Lodaya.



Pertemuan Senja itu, bersama Pak Wen.
Chika Aldila
Kamis, 18 Agustus 2016.
15.40 WIB.

Solontongan, Bandung.

Senin, 08 Agustus 2016

Mendaki Dengan Flat Shoes dan Jaket Tipis: (Gagal) Hunting Milky Way di Gunung Putri, Lembang



Sampai sekarang masih terbayang di dalam benak, betapa menyenangkannya tidur di atas rerumputan sambil memandang langit bertaburan bintang. Untuk orang sepertiku yang notabene orang kota asli, hal tersebut merupakan sesuatu yang langka. Sampai umur seginipun, kegiatan tersebut masih menjadi impian kecilku. Terlihat sederhana, namun sulit sekali dilakukan.

Setelah gagal menikmati langit malam bertabur bintang di kemping pertamaku, tentunya kesempatan kedua tidak akan aku sia-siakan. Ya, di tanggal 6 Agustus kemarin, bertepatan dengan Hari Keantariksaan Nasional, aku dan beberapa teman pegiat Aleut yang lain merencanakan untuk pergi melihat fenomena summer triangle dan milky way. Tadinya sih mau ke Gunung Batu, tapi setelah berdiskusi dengan teman-teman yang lain terkait polusi cahaya, kami memutuskan pergi ke Gunung Putri, Lembang. Selain menjadi pengalaman pertama mengamati bintang, ini juga akan jadi kali pertama aku mengunjungi Gunung Putri yang akhir-akhir ini lagi hitz di Instagram itu.

Ternyata, letak Gunung Putri ini tidak begitu jauh dari Hotel Grand Paradise Lembang. Tidak sampai 10 menit, kami sudah sampai di parkiran motor. Jalan menuju area parkir pun tergolong mulus. Tidak ada kesulitan sama sekali.

Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 7.500/orang, kami ternyata harus menaiki sebuah anak tangga untuk mencapai pos pertama Gunung Putri. Dengan penuh amarah dan emosi karena sempat berdebat dengan salah seorang kawan di bawah, aku dan satu orang temanku sampai duluan ke atas. Jalanan yang cukup menanjak dan tinggi membuat teman-teman lain tertinggal di belakang. Aku pun ngas nges ngos sambil istirahat sebentar dan meminta air minum pada teman yang lain.

Pemandangan malam kota Bandung dari pos pertama Gunung Putri ini SUNGGUH SANGAT AMAT INDAH YA TUHAN. Asli. Indah banget! Buat saya yang sering pergi ke Punclut, duh, Punclut gak ada apa-apanya deh.

keindahan Kota Bandung dari pos pertama Gunung Putri

Eh, tunggu. Punclut kayaknya lebih enak karena faktor banyaknya tempat makan.

TAPI ASLI INI INDAH BANGET. Lautan kerlap kerlip lampu dari rumah-rumah dan gedung di Kota Bandung mengalihkan jiwaku beberapa saat, sebelum akhirnya mendongak ke atas dan melihat taburan bintang. Ya, memang tidak begitu banyak, tapi tetap saja untuk ukuranku yang anak kota, bintang disitu sudah tergolong banyak sekali.

Aku dan teman-teman langsung duduk di pos pertama tersebut, mengambil foto taburan bintang di kaki langit dan membuat video untuk kenang-kenangan, yang sayangnya gagal. Tapi aku kesini bukan dengan tujuan utama untuk melihat pemandangan kota Bandung. Aku mau melihat bintang yang ada di langit. Aku ingin tiduran di rerumputan sambil menghitung bintang seperti yang dilakukan aktor dan aktris di film; ya, walaupun tanpa pasangan. Karena itu, melihat teman-teman yang susah diajak pergi mendaki, aku pergi mendaki sendiri ke tempat yang lebih tinggi.

Jalanannya sebenarnya tidak terlalu landai pun sulit. Hanya saja, aku saat itu sedang memakai flat shoes. Iya, aku mendaki gunung dengan flat shoes. Soalnya, rencana awal kan mau pergi ke Gunung Batu, tapi secara mendadak diubah ke Gunung Putri yang aku tidak tahu bagaimana medannya. Huvth. Jadi, dengan penuh perjuangan supaya tidak terpeleset, aku mendaki sambil berpegangan pada rerumputan yang cukup kuat untuk dijadikan penahan. Tidak sampai 5 menit, akhirnya aku sampai di satu tempat yang cocok dipakai tempat singgah untuk sekedar berbaring di atas rerumputan dengan tenang.

Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada aku, dan seorang pengunjung yang sedang berkemah duduk santai di depan tendanya. Ku sapa sebentar untuk meminta ijin duduk tidak jauh dari tempatnya supaya dia tidak kaget kalau tiba-tiba ada suara terisak.

Ternyata memandang bintang beralaskan rerumputan seperti ini sangat amat membahagiakan. Tenang, tanpa gangguan apapun. Kecuali angin malam pegunungan yang lumayan dingin. Maklum, sekali lagi, karena aku kira kami akan pergi ke Gunung Batu, jadi aku tidak memakai jaket tebal. Memang sok kuat aja sih.

Lima belas menit berlalu, beberapa teman menyusul ke tempatku berbaring dan mengajakku pergi ke puncak untuk melihat pemandangan yang lebih bagus lagi. Perjalanan yang cukup terjal dan licin dilalui selama kurang lebih 15 menit sampai pada akhirnya kami mencapai Tugu Polri yang menjadi penanda puncak Gunung Putri. Sungguh, indah sekali. Bintang-bintang pun terasa lebih dekat. Tapi tetap saja, katanya lebih banyak bintang yang dapat dilihat ketika teman-teman pergi ke Sedep. Padahal, aku kan gak sempet ikut ke Sedep kemarin. Gak usah deh dibahas-bahas terus!

Karena hanya bawa kamera handphone, aku tidak bisa memotret keindahan bintang. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku duduk di sisi tugu dan melihat hamparan bintang di atas, sementara teman-teman yang lain heboh parah mengomentari hasil foto satu sama lain. Huvth. Aku langsung merasa menyesal karena tidak mempunyai kamera untuk memotret keindahan langit malam tersebut.


Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Angin terasa semakin menusuk karena jaket tipis yang kugunakan tak mampu melindungiku. Jempol terasa kaku dan hidung terasa aneh, seperti ada yang mengalir keluar sedikit demi sedikit. Ketika mendongak ke atas, betapa mengecewakannya, langit malamnya tertutup awan tebal! Tidak ada bintang yang terlihat sama sekali! Parah! Parah! :(

Teman-teman yang lainpun sudah mulai khawatir karena takut teman lain yang menunggu di bawah merasa bosan. Akhirnya, kami memutuskan turun ke bawah.

Memang, perjalanan turun selalu terasa lebih berat daripada perjalanan naik. Masalahnya, sekali lagi deh terakhir, aku cuma pakai flat shoes. Flat shoes yang digunakan pun hanya sepatu seharga 35ribuan yang dibeli dadakan di sekitaran kampus karena suatu alasan yang sudah aku lupakan. Tidak terhitung berapa kali aku terpeleset dan oleng ketika turun. Ya sebenarnya tidak masalah kalau terpeleset ketika tidak dilihat banyak orang. Yha ini, aku terpeleset tepat ketika melewati orang-orang yang sedang berkemah sambil bilang “permisi ya, kak…”. Malunya double.

Sampai di bawah, dengan rasa pegal luar biasa karena mendaki naik turun menggunakan flat shoes murah, menahan dingin karena hanya memakai jaket tipis, dan menahan kekecewaan karena langit malam yang tertutup awan tebal, aku terduduk lemas. Tapi aku tidak menyesal, kok. Soalnya kan aku sudah berhasil menunaikan salah satu impian kecilku, berbaring di rerumputan sambil memandang langit malam bertabur bintang sebelum pergi ke puncak tadi.


Pokoknya, suatu hari nanti, aku harus punya kamera yang mumpuni dan sanggup memotret milky way indah di puncak pegunungan yang ada di Jawa Barat. Mari kita jadikan hal tersebut sebagai… Resolusi 2018!


Salam dari Gunung Putri, Lembang!

Senin, 01 Agustus 2016

Terjerembab di Pupuk Kandang dan Rawa-Rawa: Situ Aul, Pangalengan



Sebagai anak kota yang seumur hidupnya tinggal sangat jauh dari daerah ladang, melihat dan mencium bau pupuk kandang adalah hal yang sangat menjijikan untuk saya. Kalau melihat dan mencium baunya saja sudah bikin jijik, apalagi terjerembab di dalamnya? Iyuwh! Ga kuat! Tapi sebentar, saya di sini tidak akan berbicara mengenai apa itu pupuk kandang dan  mengapa saya sangat membencinya. Tulisan ini akan bercerita tentang pengalaman saya mengunjungi sebuah keindahan tersembunyi di daerah Pangalengan, Jawa Barat.

Memang sudah rejeki anak soleh, pada hari Sabtu (23/07/2016) yang lalu, saya dan beberapa kawan di Komunitas Aleut! berkesempatan berkunjung ke daerah Pangalengan. Sebenarnya sih, tujuan awalnya adalah untuk mencari rumah yang dulu pernah ditempati oleh almarhum Presiden Soekarno yang katanya ada di daerah Cinyiruan. Tapi, anggap saja Cinyiruan bonus karena kami sudah pernah kesana. Tujuan utamanya adalah makan siang di sebuah tempat yang belum saya ketahui sebelumnya.

Adalah sebuah tempat bernama Puncak Sulibra. Itu tuh, tempat yang lagi hitz banget untuk para pendaki pemula di daerah Pangalengan. Saya sebenarnya sudah lama penasaran dengan tempat tersebut. Karena itu, saya sangat excited waktu kami jadi pergi ke Pangalengan. Sepanjang perjalanan mengitari daerah Kertamanah dan memotret keindahan perkebunan teh, saya terus memikirkan angle foto mana yang bagus untuk mengambil keindahan daerah Pangalengan dari Puncak Sulibra. Anaknya tuh benar-benar tidak mau ketinggalan hitz.

Perkebunan Teh Kertamanah. Di ujung terlihat uap tebal dari Geothermal Wayang Windu


Melewati Geothermal Wayang Windu dan menyusuri pipa-pipa besar berisikan uap super panas, jalan beton mulus mulai berubah menjadi jalan perkebunan pada umumnya; rusak dan berbatu-batu. Saya dan Tegar, rekan saya, akhirnya terbangun kembali setelah sebelumnya terbuai dengan kemulusan jalur perkebunan teh Kertamanah. Jalanan berbatu ini kami temui setelah melewati sebuah palang besar yang menandai area proyek Geothermal. Tapi tenang saja, tingkat kerusakan jalan disini jauh di bawah jalanan berbatu yang harus dilewati ketika kami berkunjung ke daerah Negla.


Pipa besar melintang sepanjang perbukitan

Setelah melewati palang dan melihat kerennya pemandangan ladang-ladang yang dilintasi oleh pipa-pipa super besar, Pak Abang memperlihatkan pada saya letak Puncak Sulibra. Sudah sangat dekat ternyata! Semakin senang dong tentunya, semakin tak sabar juga. Karena sudah masuk jam makan siang juga, kami langsung cepat-cepat tancap gas menuju lokasi tujuan.

'Ngolong' melewati pipa supaya bisa masuk ke area Situ Aul

Akhirnya kami memarkirkan kendaraan di depan sebuah sumur produksi. Melewati pipa besar, kami masuk ke dalam area hutan. Sumpah, saya saat itu masih berpikir bahwa kami akan dibawa ke Puncak Sulibra. Betapa naifnya saya. Mengikuti arahan Pak Abang, kami melewati pepohonan dan sekumpulan ilalang nan indah yang pastinya cocok untuk dijadikan lokasi prawedding. Saking sibuknya mengambil foto, saya tidak sadar kalau jalanan ternyata berlumpur, dan sepatu serta celana saya kena beberapa cipratan lumpur. Padahal sepatunya baru saja dicuci :(


padang ilalang, sebelum memasuki daerah rawa jahanam

Melewati ilalang, kami masuk ke sebuah area ladang kosong. Di sana, Pak Abang dan temannya Bu Wiwit berargumen ‘asyik’ mengenai jalur yang benar untuk mencapai lokasi tujuan. Sekali lagi, saat itu saya masih berpikir bahwa kami akan dibawa ke Puncak Sulibra. Karena itu, jalur manapun akan saya ikuti asalkan bisa mengantar saya sampai ke puncak. Namun, sejatinya, saya memang terlalu naïf. Saat menjejakkan kaki di tumpukan rerumputan, saya sadar bahwa tanah tempat saya berpijak tidaklah kokoh dan cenderung basah.

“Hati-hati, ini bekas rawa-rawa.” Kata orang yang berjalan paling depan. WHAT?!

Sambil terus sibuk merekam situasi dengan handphone, saya fokus untuk mencari pijakan yang kering. Tapi apa daya, baru seumur hidup saya melewati jalur seperti itu, sehingga tidak mengenal karakteristik bekas rawa-rawa seperti itu. Ya, saya beberapa kali terjerembab ke rawa-rawa dengan airnya yang kotor dan cenderung berwarna kuning gelap. Entar air apa itu, saya tak mau memikirkannya. Fakta bahwa air tersebut tak berbau pun sudah sangat membuat saya bersyukur setelah sedih melihat sepatu kesayangan yang baru dicuci menjadi kotor luar biasa dan basah kuyup.


Indahnya Situ Aul.Puncak Sulibra terlihat di kiri atas foto.

Setelah mencak-mencak dan menyalahkan pemimpin perjalanan, kami sampai di tepi sebuah danau kecil yang tak saya sangka ada di daerah tersebut. Situ Aul, namanya. Puncak Sulibra terlihat di sebrang danau tersebut, katanya. Oh, di situ saya sadar sambil tersenyum getir, kami tidak akan ke Puncak Sulibra. Cukup lihat saja dan tahu saja. Ok, gapapah.

Serius, gak apa-apa. Kenapa? Karena pemandangan Situ Aul ini sangat indah! Surga kecil tersembunyi di lereng Gunung Gambung Sedaningsih. Tidak terlihat kehadiran orang lain di sana. Kami makan beralasakan terpal jas hujan dalam keheningan alam, menikmati pemandangan riak-riak kecil nan indah di permukaan danau. Ah, bahagia itu sesederhana ini ternyata.


Makan Siang di pinggir danau

Perut kenyang, hati senang. Karena takut turun hujan, kami memutuskan untuk pulang lebih cepat. Hanya saja, kami tidak mau mengambil rute jalan melewati rawa-rawa tadi. Once is more than enough. Akhirnya kami berjalan melewati ladang-ladang kosong yang baru saja digemburi oleh pupuk kandang. Bau menyengat membuat kepala saya pening. Handphone sengaja saya masukkan ke dalam saku supaya saya bisa fokus berjalan. Eh, tapi memang dasar oleng, saya terpeleset sehingga kaki saya dengan mantapnya masuk ke dalam tanah gembur penuh dengan pupuk kandang. Ingin menangis rasanya. Baunya semakin menusuk ke dalam hidung. Cepat-cepat saya keluarkan kaki saya dan saya siram sepatunya dengan air. Siapa sih yang dari awal milih jalan setapak seperti ini! Sesat!

Setelah mencuci sepatu sebentar, saya menyempatkan untuk menghibur diri sendiri dengan memanjat sebuah bukit tinggi tak jauh dari tempat kami memarkirkan motor. Dari bukit tersebut terlihat Situ Cileunca dan Situ Cipanunjang dengan jelas. Bahagianya saya tidak terkira melihat pemandangan indah seperti itu. Meskipun sempat bingung memikirkan caranya turun, saya sama sekali tidak menyesal karena berhasil melihat pemandangan luar biasa indah yang teman-teman saya tidak lihat. Karena bahagia itu bisa dirasakan dan didapatkan walaupun seorang diri, kok.


Di pojok kiri atas terlihat Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca di sebelah kanannya

Yah, walaupun sepatu kotor dan bau gak jelas, saya pasti akan datang kembali lagi ke sini. Someday. Yang mau melihat video rekaman perjalanan kami, bisa cek video di bawah ini: 






Rabu, 27 Juli 2016

Menantang Maut: Maribaya-Subang di Bulan Juli



Kalau dilihat-lihat lagi, judulnya cukup menyeramkan: Menantang Maut. Sebenarnya, perjalanan kali ini tidak semenyeramkan itu, tapi cukup masuk akal kalau beberapa orang, terutama orang tua saya, menyebut perjalanan tersebut sebagai kegiatan menantang maut.

Kami tidak meloncat dari tebing, tidak mendaki gunung tinggi, tidak memasuki hutan lebat penuh dengan binatang buas, tidak. Seperti biasa, di hari Minggu (17/07/2016) pagi, saya dan beberapa pegiat Komunitas Aleut melakukan kegiatan rutin touring dari Maribaya ke Subang dengan motor yang kemudian disebut dengan istilah Ngaprak (Bahasa Sunda, memiliki makna serupa dengan kukurilingan/berkeliling). Hanya saja, rute yang akan kami lalui cukup beresiko karena pengaruh langit yang sedang senang-senangnya menangis terseguk-seguk di bulan Juli ini. Jalanan licin dan hujan lebat tentunya akan kami lalui, tapi ternyata ada satu hal yang saya pribadi tak sempat prediksi: kemungkinan terjebak longsor di tengah jalan.

Berangkat dari Kedai Preanger seperti biasanya, saya dan tandem saya Tegar mengambil posisi belakang sebagai sweeper. Ini berarti, saya dan teman saya ini harus dengan sigap memperhatikan posisi dan kondisi teman lainnya di depan. Selain itu, kami berdua bisa melihat dengan jelas berbagai macam kesulitan yang teman-teman lain hadapi selama perjalanan. Dan untuk saya pribadi, melihat teman-teman lain kesulitan membuat saya semakin parno! Motor yang kami berdua pakai adalah motor besar, meningkatkan kesulitan dalam menahan beban dan menyeimbangkan posisi di jalanan. Hufth.

Masuk melalui Dago Giri, kami meneruskan laju motor menuju daerah yang biasa  disebut sebagai Dago Bengkok lalu Buniwangi. Memasuki daerah Buniwangi, beberapa teman sudah kesulitan karena motornya tidak kuat menaiki tanjakan. Tanjakan di daerah Buniwangi ini memang tergolong sangat tinggi; salah memasukkan gigi, tak bisa naik. Keluar dari Buniwangi menuju Maribaya, kami berbelok ke akses utama Maribaya menuju Subang melalui Wangunharja dan langsung disambut oleh tanjakan yang lebih menantang lagi dibandingkan dengan sebelumnya. Selain berkelok-kelok dan sangat curam, jalan menanjak ini juga licin. Perlu ekstra hati-hati saat melewati tanjakan ini.

Perjuangan keras harus kami alami lagi memasuki perbatasan Maribaya-Subang. Beberapa kilometer menuju Puncak Eurad, beberapa teman yang dibonceng, termasuk saya, harus turun dari motor karena jalanan super licin dan beberapa teman sudah ada yang terjatuh karena memaksakan untuk berkendara berdua. Bahkan beberapa motor dalam rombongan kami harus dipegangi oleh beberapa orang supaya tidak terjatuh.

Jalanan super licin, yang dibonceng harus jalan kaki

Berbeda dengan para pemotor yang berasal dari desa di sekitaran sana. Dengan motornya, membawa boncengan ataupun hasil panen luar biasa banyak, mereka meliak-liuk mahir tanpa harus tergelincir atau kesulitan mencari jalan. Tak ayal para pengendara motor itu adalah perempuan! Bukan main luar biasa mereka. Tak perlulah mereka membuat SIM, mungkin para polisi pun kalah telak dalam urusan mengendalikan motor di daerah seperti ini.

Setelah melewati Puncak Eurad dan daerah Bukanagara, kami menemukan sebuah Tugu Teh Walini. Betapa senangnya kami ketika akhirnya sampai di tugu tersebut. Tugu tersebut dikelilingi oleh bekas pabrik dan perumahan padat warga. Perumahan padat warga berarti satu hal: WARUNG NASI. Ya, saya capslock, penuh dengan penekanan dan teriakan dalam hati karena saya dan teman-teman amat sangat lapar saat itu! Dan voila, akhirnya warung nasi ditemukan tidak jauh dari tugu dan kami berkesempatan untuk mengisi bahan bakar untuk setelah dibanting-banting sepanjang perjalanan.



Sambil makan siang, kami berbincang sedikit dengan suami-istri pemilik warung perihal jalan menuju Subang. Alhamdulillah, mereka mengatakan bahwa jalan menuju Subang melalui Cupunagara yang akan kami lewati ini relatif sudah bagus dibandingkan jalanan sebelumnya. “Sebenarnya jalannya sempat tertutup dua minggu lalu karena longsor, tapi sekarang sudah bisa dilewati, jalannya juga sudah aspal kok sudah bagus,” katanya.

Mendengar hal seperti itu tentu saya sumringah. Saya dan teman-teman lainnya langsung meneruskan perjalanan melewati pegunungan yang berkelok-kelok dengan kondisi jalanan yang… ya, tidak lebih buruk dari jalur kami sebelumnya. Saya tekankan, tidak lebih buruk. Selain itu, kami melewati banyak titik longsor yang dibicarakan pemilik warung. Demi deh, saya sedikit merinding dan ketakutan, membayangkan longsoran yang bisa saja menimpa kami sewaktu-waktu. Lalu, seperti yang sudah diduga, hujan turun di tengah perjalanan. Padahal saya dan Tegar sudah sempat bercakap-cakap, “Wah, untung engga hujan. Kalau hujan, ini jalanan pasti udah licin banget dan gatau deh ini longsornya gimana!” Apa daya, kami kan tidak bisa menahan hujan turun.

Berbekal do’a dan tekad, kami meneruskan perjalanan di tengah derasnya hujan di balik pegunungan. Pemandangan bekas longsoran yang luar biasa besar di banyak titik membuat saya berdo’a semakin kencang dalam hati. Saya hanya ingin pulang ke rumah dengan selamat bersama dengan teman-teman. Itu saja. Tak terpikirkan lagi hal-hal lain.

Pohon tumbang sempat memutus akses jalan sementara

Di tengah kekhusyuan berdoa, laju motor kami sempat berhenti karena kerumunan teman-teman di depan. Semua turun dari motornya. Lalu, hal mengerikan yang saya takutkan terjadi. PEPOHONAN TUMBANG. Ya, pepohonan tumbang karena tanah tergerus hujan dan MEMUTUS satu-satunya akses jalan. Saya merinding disko dibuatnya. Teman-teman dan beberapa warga yang juga mau melintas lalu bahu-membahu menyingkirkan pohon tersebut. Teman saya yang ada di barisan depan sempat trauma, “maju sedikit, mungkin aku sudah tertimpa pohon, chik!” Sungguh, maut tak ada yang tahu kapan datangnya. Tapi, berkat perjuangan dari teman-teman, kami dapat lolos dan memasuki kota Subang dengan selamat dan utuh.

Sambil menyesap secangkir kopi dan menikmati keindahan perkebunan teh Ciater, kami beristirahat di warung kopi pinggir jalan sambil saling bercerita mengenai kesan perjalanan hari itu. Berbagai macam perasaan, kesan, dan pesan berhamburan di sesi sharing ini.

Pemandangan perkebunan teh Ciater dari warkop tempat singgah
Sungguh, perjalanan pertama saya menyusuri rute ini merupakan pengalaman yang membuat saya tak henti-hentinya membacakan ayat Kursi sepanjang jalan. Lucu juga kalau diingat. Banyak perjalanan ekstrim dan melelahkan yang telah kami lalui, tapi pengalaman yang saya alami dalam perjalanan ini tak akan pernah dapat terlupakan.


Bagi yang mau melihat video perjalanan kami, silahkan cek di bawah ini: