Facebook

Minggu, 10 Juli 2016

Antara Umur dan Cinta



cr pinterest


Setelah sekian lama tidak menulis, akhirnya dorongan untuk menulis kembali lagi. Hanya saja, kali ini aku tidak sedang ingin menulis catatan perjalanan seperti biasanya. Catatan perjalanan yang kali ini aku tulis cukup berbeda, namun hal yang umum dialami dan dirasakan semua manusia. Perjalanan cinta. Cielah.

=============================================
Umur dan cinta memiliki korelasi yang kuat, itu menurutku.

Seiring bertambahnya umur dan pengalaman, pandangan kita mengenai ‘cinta’ berubah. Entah ke arah positif maupun negatif. Yang jelas, umur benar-benar merubah cara pandangku mengenai cinta; bagaimana aku melihat, memahami, merasakan, dan mengalami cinta.

Semakin tua, terutama mendekati pertengahan umur 20, aku semakin pesimis melihat cinta. Aku tidak lagi melihat cinta sebagai suatu anugrah pun mencari cinta layaknya kisah di novel dan film-film roman. Mencari pun sudah tak kulakukan lagi; lelah. Kalau memang ada seseorang yang ditakdirkan untuk bersamaku, pasti dia akan hadir suatu saat nanti di waktu yang tepat. 

Tetapi apabila aku pikirkan lagi, pemikiranku ini benar-benar seperti seseorang yang sudah menginjak umur 30-an. Umur dimana ego sudah benar-benar menguasai diri, tidak lagi dapat menerima kehadiran orang lain karena sudah terlalu nyaman dengan ruang lingkup kehidupannya sendiri. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. Tapi nyatanya, pengalaman dan umur telah memberiku terlalu banyak pelajaran pahit; cikal bakal matinya pohon pengharapan.

Di sela-sela rasa penat dan lelah terhadap kehidupan percintaan, aku mencoba menghabiskan hari-hari bersama buku; satu-satunya hal yang dapat mengajakku kabur dari dunia abu-abu ini. 

Adalah satu buku yang berisikan tulisan-tulisan pendek mengenai cinta, penulisnya merupakan para pegiat suatu komunitas di Korea Selatan. Belum pernah aku membaca buku karangan penulis Korea Selata sebelumnya. Judulnya pun sederhana, Things to Know When in Love. Entah apa yang terbesit di kepalaku sampai aku mengangkat buku tersebut dari tumpukan buku-buku keluaran terbaru di toko buku yang tak jauh dari rumahku. 

Buku yang dikategorikan sebagai novel graphic ini menyajikan tulisan-tulisan pendek (benar-benar pendek, bahkan ada yang satu kalimat saja) yang dikemas dengan menarik yang penuh dengan makna.

Adapun salah satu tulisan pertama yang aku baca dari buku tersebut, Penyebab “Semakin Berumur, Percintaan Semakin Sulit”, yang membuat aku terperangah. Sedikit. Begini kutipannya:
“Penyebab ‘semakin berumur, percintaan semakin sulit’ hanya satu.
Kau dan dia telah terlalu lihai.
Telah memberikan cinta sepenuhnya
dan mencurahkan seluruh perasaan, tapi akhirnya tidak menjadi apa-apa.
Percintaan pun bukan lagi ‘sesuatu yang ingin dilakukan’.
Tapi menjadi sesuatu yang ‘kalau bisa, bagus’ atau ‘kalau tidak bisa, apa boleh buat’.”
Hok. Rasanya ada sesuatu yang menghujam dada saat membaca kalimat-kalimat tersebut. Benar juga. Semakin berumur, pengalaman dalam menjalin hubungan dengan orang lain pun telah banyak didapatkan. Pengalaman, baik itu baik maupun buruk, akan benar-benar mempengaruhi hati kita. Pengalaman yang buruk akan membuat kita memandang cinta sebelah mata. 

Teringat ketika salah seorang teman pernah berkata, “Menikahlah sebelum kamu menginjak umur 30 tahun. Memasuki umur 30, kamu akan terlalu keras untuk menerima kehadiran orang dalam hidupmu. Ego dan prinsip hidup yang sudah tertata sekian kokohnya tidak akan mudah untuk dicampurtangani oleh pasangan nantinya. Semakin besar kemungkinan cekcok muncul karena ego tersebut. Terlebih untuk kaum lelaki; menjomblo sampai umur 30 akan membuat laki-laki semakin sulit mencari pasangan, karena mereka sudah terlalu nyaman berada dalam zona kesendiriannya tersebut.”

Tetapi, bukankah begini,

menjelang pertengahan umur 20, kita akan lebih fokus untuk membangun diri dan karir; untuk masa depan yang lebih baik, mereka bilang. Bagi mereka yang tidak memiliki pasangan, hal tersebut akan menjadi tujuan utama dalam hidup; kehadiran pasangan akan mengganggu proses menuju sukses, mereka bilang. Aku pun berpikir seperti itu. Padahal aku tahu, kalimat itu hanyalah alasan bagi mereka yang sudah “malas” mencari pasangan.
Bertemu yang baru, mencoba mengenal satu sama lain dari awal. Menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Menerima sifat-sifat satu sama lain, baik itu sesuai dengan kita maupun tidak. Mencoba beragam hal baru yang belum pernah dilakukan berdua. Menghadapi permasalahan yang biasa dialami pasangan layaknya roda yang berputar. Memikirkan kembali keputusan yang telah diambil. Memikirkan apakah hubungan layak untuk dilanjutkan atau tidak. Apabila berhasil maju, ya syukur. Kalau tidak bisa, ya mungkin belum jodoh. Seperti itulah. Kita tahu, menjalankan proses itu melelahkan.

Rasa malas dan takut. Ya, takut. Takut mengalami kegagalan lagi dalam menjalankan hubungan kiranya menjadi hal terbesar yang menjadi penyebab timbulnya rasa malas dalam menjalin cinta.

Takut menyakiti dan takut disakiti. Tentunya semua manusia takut akan hal tersebut.

Pada akhirnya, semua akan menunggu. Menunggu jodohnya untuk datang tanpa perlu usaha lebih untuk menariknya. Duduk tenang dan menanti keajaiban datang, atau berjalan-jalan di toko buku berharap ada seseorang yang tak sengaja bertubrukan dengan kita dan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Di sisi lain, di seberang, entah di mana, seseorang melakukan hal yang sama dengan kita. Menunggu sampai salah satu merobohkan tembok kemalasan dan berani mengambil resiko untuk menyakiti dan tersakiti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar