Facebook

Senin, 01 Agustus 2016

Terjerembab di Pupuk Kandang dan Rawa-Rawa: Situ Aul, Pangalengan



Sebagai anak kota yang seumur hidupnya tinggal sangat jauh dari daerah ladang, melihat dan mencium bau pupuk kandang adalah hal yang sangat menjijikan untuk saya. Kalau melihat dan mencium baunya saja sudah bikin jijik, apalagi terjerembab di dalamnya? Iyuwh! Ga kuat! Tapi sebentar, saya di sini tidak akan berbicara mengenai apa itu pupuk kandang dan  mengapa saya sangat membencinya. Tulisan ini akan bercerita tentang pengalaman saya mengunjungi sebuah keindahan tersembunyi di daerah Pangalengan, Jawa Barat.

Memang sudah rejeki anak soleh, pada hari Sabtu (23/07/2016) yang lalu, saya dan beberapa kawan di Komunitas Aleut! berkesempatan berkunjung ke daerah Pangalengan. Sebenarnya sih, tujuan awalnya adalah untuk mencari rumah yang dulu pernah ditempati oleh almarhum Presiden Soekarno yang katanya ada di daerah Cinyiruan. Tapi, anggap saja Cinyiruan bonus karena kami sudah pernah kesana. Tujuan utamanya adalah makan siang di sebuah tempat yang belum saya ketahui sebelumnya.

Adalah sebuah tempat bernama Puncak Sulibra. Itu tuh, tempat yang lagi hitz banget untuk para pendaki pemula di daerah Pangalengan. Saya sebenarnya sudah lama penasaran dengan tempat tersebut. Karena itu, saya sangat excited waktu kami jadi pergi ke Pangalengan. Sepanjang perjalanan mengitari daerah Kertamanah dan memotret keindahan perkebunan teh, saya terus memikirkan angle foto mana yang bagus untuk mengambil keindahan daerah Pangalengan dari Puncak Sulibra. Anaknya tuh benar-benar tidak mau ketinggalan hitz.

Perkebunan Teh Kertamanah. Di ujung terlihat uap tebal dari Geothermal Wayang Windu


Melewati Geothermal Wayang Windu dan menyusuri pipa-pipa besar berisikan uap super panas, jalan beton mulus mulai berubah menjadi jalan perkebunan pada umumnya; rusak dan berbatu-batu. Saya dan Tegar, rekan saya, akhirnya terbangun kembali setelah sebelumnya terbuai dengan kemulusan jalur perkebunan teh Kertamanah. Jalanan berbatu ini kami temui setelah melewati sebuah palang besar yang menandai area proyek Geothermal. Tapi tenang saja, tingkat kerusakan jalan disini jauh di bawah jalanan berbatu yang harus dilewati ketika kami berkunjung ke daerah Negla.


Pipa besar melintang sepanjang perbukitan

Setelah melewati palang dan melihat kerennya pemandangan ladang-ladang yang dilintasi oleh pipa-pipa super besar, Pak Abang memperlihatkan pada saya letak Puncak Sulibra. Sudah sangat dekat ternyata! Semakin senang dong tentunya, semakin tak sabar juga. Karena sudah masuk jam makan siang juga, kami langsung cepat-cepat tancap gas menuju lokasi tujuan.

'Ngolong' melewati pipa supaya bisa masuk ke area Situ Aul

Akhirnya kami memarkirkan kendaraan di depan sebuah sumur produksi. Melewati pipa besar, kami masuk ke dalam area hutan. Sumpah, saya saat itu masih berpikir bahwa kami akan dibawa ke Puncak Sulibra. Betapa naifnya saya. Mengikuti arahan Pak Abang, kami melewati pepohonan dan sekumpulan ilalang nan indah yang pastinya cocok untuk dijadikan lokasi prawedding. Saking sibuknya mengambil foto, saya tidak sadar kalau jalanan ternyata berlumpur, dan sepatu serta celana saya kena beberapa cipratan lumpur. Padahal sepatunya baru saja dicuci :(


padang ilalang, sebelum memasuki daerah rawa jahanam

Melewati ilalang, kami masuk ke sebuah area ladang kosong. Di sana, Pak Abang dan temannya Bu Wiwit berargumen ‘asyik’ mengenai jalur yang benar untuk mencapai lokasi tujuan. Sekali lagi, saat itu saya masih berpikir bahwa kami akan dibawa ke Puncak Sulibra. Karena itu, jalur manapun akan saya ikuti asalkan bisa mengantar saya sampai ke puncak. Namun, sejatinya, saya memang terlalu naïf. Saat menjejakkan kaki di tumpukan rerumputan, saya sadar bahwa tanah tempat saya berpijak tidaklah kokoh dan cenderung basah.

“Hati-hati, ini bekas rawa-rawa.” Kata orang yang berjalan paling depan. WHAT?!

Sambil terus sibuk merekam situasi dengan handphone, saya fokus untuk mencari pijakan yang kering. Tapi apa daya, baru seumur hidup saya melewati jalur seperti itu, sehingga tidak mengenal karakteristik bekas rawa-rawa seperti itu. Ya, saya beberapa kali terjerembab ke rawa-rawa dengan airnya yang kotor dan cenderung berwarna kuning gelap. Entar air apa itu, saya tak mau memikirkannya. Fakta bahwa air tersebut tak berbau pun sudah sangat membuat saya bersyukur setelah sedih melihat sepatu kesayangan yang baru dicuci menjadi kotor luar biasa dan basah kuyup.


Indahnya Situ Aul.Puncak Sulibra terlihat di kiri atas foto.

Setelah mencak-mencak dan menyalahkan pemimpin perjalanan, kami sampai di tepi sebuah danau kecil yang tak saya sangka ada di daerah tersebut. Situ Aul, namanya. Puncak Sulibra terlihat di sebrang danau tersebut, katanya. Oh, di situ saya sadar sambil tersenyum getir, kami tidak akan ke Puncak Sulibra. Cukup lihat saja dan tahu saja. Ok, gapapah.

Serius, gak apa-apa. Kenapa? Karena pemandangan Situ Aul ini sangat indah! Surga kecil tersembunyi di lereng Gunung Gambung Sedaningsih. Tidak terlihat kehadiran orang lain di sana. Kami makan beralasakan terpal jas hujan dalam keheningan alam, menikmati pemandangan riak-riak kecil nan indah di permukaan danau. Ah, bahagia itu sesederhana ini ternyata.


Makan Siang di pinggir danau

Perut kenyang, hati senang. Karena takut turun hujan, kami memutuskan untuk pulang lebih cepat. Hanya saja, kami tidak mau mengambil rute jalan melewati rawa-rawa tadi. Once is more than enough. Akhirnya kami berjalan melewati ladang-ladang kosong yang baru saja digemburi oleh pupuk kandang. Bau menyengat membuat kepala saya pening. Handphone sengaja saya masukkan ke dalam saku supaya saya bisa fokus berjalan. Eh, tapi memang dasar oleng, saya terpeleset sehingga kaki saya dengan mantapnya masuk ke dalam tanah gembur penuh dengan pupuk kandang. Ingin menangis rasanya. Baunya semakin menusuk ke dalam hidung. Cepat-cepat saya keluarkan kaki saya dan saya siram sepatunya dengan air. Siapa sih yang dari awal milih jalan setapak seperti ini! Sesat!

Setelah mencuci sepatu sebentar, saya menyempatkan untuk menghibur diri sendiri dengan memanjat sebuah bukit tinggi tak jauh dari tempat kami memarkirkan motor. Dari bukit tersebut terlihat Situ Cileunca dan Situ Cipanunjang dengan jelas. Bahagianya saya tidak terkira melihat pemandangan indah seperti itu. Meskipun sempat bingung memikirkan caranya turun, saya sama sekali tidak menyesal karena berhasil melihat pemandangan luar biasa indah yang teman-teman saya tidak lihat. Karena bahagia itu bisa dirasakan dan didapatkan walaupun seorang diri, kok.


Di pojok kiri atas terlihat Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca di sebelah kanannya

Yah, walaupun sepatu kotor dan bau gak jelas, saya pasti akan datang kembali lagi ke sini. Someday. Yang mau melihat video rekaman perjalanan kami, bisa cek video di bawah ini: 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar