Bermula dari hasil ngadat salah seorang teman di Komunitas
Aleut yang tidak bisa ikut bertualang ke Negla hari Jumat lalu, saya dan teman-teman akhirnya memutuskan untuk
melakukan perjalanan ke daerah Wado, Sumedang. Kenapa Wado? Ya, bermula dari
celotehan salah seorang teman saat perjalanan ke Negla minggu lalu, yang
memberitahu bahwa terdapat banyak situs keramat di daerah Wado sekitaran
Jatigede, meningkatlah rasa ingin tahu kami untuk mengunjungi daerah tersebut.
Sebetulnya, perjalanan ke Wado
ini sempat terancam batal saat mengetahui bahwa Waduk Jatigede meluap dan
merendam perkampungan Jatigede dan beberapa daerah di Wado. Tapi, memang dasar
tukang cari masalah, kami dengan semangat memutuskan untuk jadi pergi di hari
Selasa pagi, tidak peduli dengan kemungkinan tercegat banjir dan semacamnya.
Sekitar pukul 07:30 pagi kami
berangkat dari Kedai Preanger menggunakan sepeda motor. Dengan menyusuri jalan
ke arah Sumedang, kami menerjang semrawut lalu lintas Bandung pagi hari dan
teriknya sinar matahari. Saat melintasi daerah Jatinangor, terlintas ide untuk
berkunjung ke daerah kampus Unpad dan melihat salah satu bukti sejarah
perkebunan karet di wilayah Jatinangor pada masa Hindia Belanda, Menara Loji. Saya
sendiri baru pertama kali melihat menara ini. Jangankan menara, ini kali
pertama saya masuk ke daerah kampus Unpad dan ITB Jatinangor.
Saat sampai di daerah Menara
Loji, yang pada tahun 2014 diresmikan oleh rektor ITB sebagai “Taman Loji”,
saya langsung terpana melihat keindahan menara itu. Menara lonceng dengan gaya
gothic ini mengingatkan saya pada menara-menara lonceng yang ada di Eropa sana.
Sebetulnya, selain menara yang ada di Taman Loji ini, ada lagi menara serupa
yang terletak di komplek Kodim Jl. Aceh, tepat di sebrang Hotel Hyatt.
Menara Loji (photo: pribadi) |
Sambil melihat dan memotret
keindahan menara, saya diberitahu bahwa menara ini dulu berfungsi sebagai menara
pemberi tahu waktu untuk para pekerja perkebunan karet yang ada di wilayah
Jatinangor. Perkebunan karet ini letaknya tepat di kawasan pendidikan
Jatinangor, melintang dari kawasan kampus IPDN sampai lereng Gunung Manglayang.
Perkebunan ini didirikan pada tahun 1844 dan dimiliki oleh seorang Jerman yang
bernama W. A. Baud. Di tahun 1980, seseorang mencuri lonceng yang terdapat di
puncak menara dan tidak pernah diketemukan lagi. Pada tahun 1990, wilayah ini
akhirnya dijadikan wilayah pendidikan oleh pihak pemerintah dan menara ini
dibiarkan tetap pada tempatnya semula. Tidak jauh dari makam, terdapat makam
dari sang pemilik perkebunan. Tapi sayang sekali kami tidak dapat mengunjungi
makam karena sedang diadakan pembangunan kampus ITB di wilayah makam tersebut.
Tidak sampai 20 menit kami
melihat keindahan menara dan berbincang sebentar dengan satpam setempat, kami
meneruskan perjalanan menuju daerah Sumedang. Sepanjang perjalanan kami ke
Sumedang terdapat banyak papan informasi yang memberitahukan bahwa jalur menuju
Tasikmalaya menuju Wado terputus dan dialihkan menuju jalur lain. Tidak
mengindahkan papan-papan tersebut, kami terus melaju menuju Wado sampai
akhirnya melihat sebuah pemandangan yang sangat indah, Waduk Jatigede.
Tunggu, keindahan tersebut
dibuyarkan oleh kenyataan bahwa di bawah genangan danau yang sangat luas
tersebut terdapat ratusan bahkan ribuan rumah warga yang terendam. Luasnya
danau yang terlihat dari tempat saya berhenti menyadarkan saya akan luasnya
wilayah perkampungan dan desa yang terendam oleh luapan Waduk Jatigede. Bukan
hanya saya dan teman-teman, ada beberapa orang yang sempat berhenti di pinggir
jalan untuk melihat pemandangan Waduk Jatiluhur tersebut. Rasa penasaran kami
semakin menguat dan kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Waduk
Jatigede.
Untuk menuju daerah wisata (ya,
sekarang dijadikan daerah wisata) Waduk Jatigede, kami menelusuri jalur
Bandung-Sumedang, terus ke Sumedang Utara menuju ke arah Tasikmalaya melalui
Jalan Situraja-Wado. Beberapa kilometer sebelum alun-alun Darmaraja, kami
melihat sebuah papan yang bertuliskan “Wisata Mancing Waduk Jatigede” terpampang
besar di bahu kiri jalan. Langsung saja kami mengarahkan laju kendaraan ke arah
kiri untuk masuk ke dalam wilayah Waduk Jatigede. Jalan masuk ini bukanlah
jalan umum; perkampungan warga dapat kita lihat di kiri kanan jalan. Bau
kotoran sapi dan kambing semliwir di
sepanjang perjalanan dari Jalan Raya Situraja menuju pinggiran Waduk Jatigede. Eits,
jangan lupa pula membayar biaya masuk sebesar Rp 2.000 rupiah pada warga
setempat. Dari jalan raya menuju pinggiran waduk ini kami menghabiskan waktu
sekitar 5 menit saja, tak lebih dari 2 KM kok.
Saat sampai di sebuah
persimpangan yang mengarah ke sisi waduk, kami harus memarkirkan motor kami dan
berjalan kaki. Sebetulnya bisa saja sih kalau mau bawa motor sampai ke sisi
waduk, hanya saja ketinggian air semakin meningkat dan jalanan berbatu juga
licin. Daripada cari bahaya, kami pakirkan saja motor dan titipkan pada warga
sekitar.
Salah satu titik parkir kawasan wisata Jatigede |
Jalur setapak menuju sisi waduk
sebenarnya tidak terlalu panjang. Hanya saja jalannya berbatu dan licin,
membuat saya pribadi kesulitan untuk berjalan karena harus selalu berhati-hati
menapakkan kaki sepanjang perjalanan. Sesampainya di sisi waduk, betapa
terkejutnya kami saat menyaksikan dari dekat betapa tingginya luapan waduk
Jatigede. Banyak pepohonan yang terendam banjir sampai puncaknya, banyak juga
warung-warung yang seharusnya ada namun terendam oleh tingginya luapan air
waduk. Namun, disamping hal tersebut, pemandangan waduk ini memang sangat indah.
Kalau Danau Purba masih ada, mungkin penampakannya mirip seperti waduk Jatigede
yang sedang meluap ini.
Puas menikmati pemandangan waduk
Jatigede dengan bercampur rasa miris ketika teringat akan perkampungan yang
terendam banjir, kami meneruskan perjalanan ke arah titik banjir. Dari titik
wisata waduk Jatigede, kami berjalan lurus terus menuju Alun-alun Darmaraja. Ketika
sampai di perempatan alun-alun, sebuah tenda pos penjagaan polisi berdiri kokoh
di tengah jalan, menjaga lalu lintas kendaraan yang keluar masuk daerah Kampung
Munjul, salah satu kampung yang terkena dampak paling besar dari luapan Waduk
Jatigede.
Kami memutuskan untuk melihat
sebentar lokasi yang terkena banjir dan semakin merengut saat melihat keadaan
perkampungan warga. Perumahan, sekolah, sawah, dan kebun semuanya terendam
banjir. Akses jalan menuju Tasikmalaya pun terputus, mengharuskan warga
melewati jalur Malangbong bila ingin meneruskan perjalanan dari Sumedang menuju
Tasikmalaya. Tidak lama kami berada di sana, kami memutuskan untuk segera
pulang karena langit mulai menunjukkan geramannya. Betapa kecewanya saat kami
melihat begitu banyak papan petunjuk yang memberikan informasi mengenai
situs-situs keramat di sekitaran Waduk Jatigede, yang tentunya sudah terendam
banjir, dan tidak dapat kami sambangi.
Dari arah Kampung Munjul, kami
belok kiri setelah Alun-Alun Darmaraja untuk menuju ke Bandung, melewati jalur alternatif
menuju Malangbong. Apakah ini jalan terbaik? Tentu saja tidak. Jalan alternatif
ini tidak begitu mulus di beberapa titik, cenderung menurun tajam, berbatu dan
licin di saat hujan. Kami pulang di saat hujan, dan kami (sedikit) menyesali
pilihan kami untuk melewati jalur ini. Bukan hanya jalurnya yang menantang,
jarak yang kami tempuh pun semakin jauh memutar. Lebih dari 100KM kami sambangi
melalui jalur memutar alternatif Malangbong ini. Sungguh perjalanan yang sangat
luar biasa. Namun semua rasa lelah dan pegal itu sirna saat kami dapat
menikmati indahnya kabut yang turun menutupi wilayah lingkar Nagreg. Betapa
indahnya, dan tentunya fenomena yang jarang terjadi di iklim Bandung yang sudah
tak seperti dulu lagi.
Sampai di Kedai Preanger, saya
masih terenyuh saat melihat-lihat foto pemandangan Waduk Jatigede yang kami “jenguk”
tadi. Di balik keindahan yang ditampilkan, terdapat kekecewaan dan kepasrahan
dari warga yang tempat tinggalnya terendam oleh tingginya luapan air dari waduk
tersebut. Mungkin saya akan datang lagi untuk menjenguk waduk beserta
situs-situs keramat yang ada di sekitarnya nanti, ketika keadaaan sudah lebih
baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar