Hari Minggu
(21/02/2012) yang lalu, seperti biasa saya menghilangkan penat dari kehidupan
sehari-hari melalui kegiatan Ngaleut bersama Komunitas Aleut. Ngaleut kali ini
pun membuat saya bersemangat karena Ngaleut kali ini momotoran lagi! Wuhu~
Hawa panas dan macet kami rasakan di sepanjang perjalanan, sempat pula kami beberapa kali salah mengambil belokan karena sudah lupa arah, tapi berbekal tunya-tanya pada warga sekitar dan ingatan yang tipis, kami berhasil sampai di Situs Budaya Bumi Alit Kabuyutan, berlokasi di perbatasan Batukarut dan Lebakwangi, Arjasari, Kab. Bandung. Letaknya yang berada di pinggir jalan dan plang informasi yang terpampang jelas membuat kami sampai dengan selamat.
Letaknya plang informasi di pinggir jalan, perhatikan saja sisi kanan jalan (Dari arah Batu Karut) |
Ini pertama
kalinya saya mengunjungi Bumi Alit Kabuyutan. Berdasarkan hasil googling kesana kemari, baru saya tahu
kalau Bumi Alit merupakan sebuah situs peninggalan adat Sunda yang kental
dengan aturan agama Islam, dan di dalamnya terdapat berbagai macam pepohonan
berusia ratusan tahun, sebuah Bale besar, dan sebuah rumah kecil yang terbuat
dari bilik bambu. Dari hasil ngobrol singkat dengan kuncen Bumi Alit, saya
diberitahu bahwa rumah bilik ini adalah bangunan utama dan tertua di Bumi Alit.
Berbeda dengan Bale terbuka yang sudah diperluas dan dijadikan tempat berkumpul
masyarakat saat Maulid Nabi, rumah bilik ini tertutup dan hanya para sepuh saja
yang diperkenankan masuk ke dalam. Di dalam rumah ini terdapat perabot dapur
dan perkakas perang jaman dulu seperti keris, pedang, tumbak, kujang, badi dan
sumbul, yang dibawa oleh para leluhur Lebakwangi ke tanah tersebut. Di Bumi
Alit ini pula terdapat sebuah gamelan tua yang diperkirakan berusia lebih dari
300 tahun, yang hanya dikeluarkan dan dimainkan di saat tertentu saja
(contohnya Maulid Nabi). Gamelan itu dinamakan Gamelan Embah Bandong dan
disimpan dengan sangat hati-hati oleh sesepuh yang rumahnya tidak begitu jauh
dari lokasi situs Bumi Alit.
Bale Masyarakat |
Rumah Bumi Alit Kabuyutan |
Selain itu,
terdapat berbagai macam papan yang bertuliskan petuah mengenai kehidupan
beragama dan sosial. Pesan-pesan yang tertuang dalam tulisan tersebut memiliki
arti yang dalam, membuat hati saya sedikit merengut saban membaca
tulisan-tulisan tersebut. Selain mendapatkan penjelasan mengenai rumah Bumi
Alit dan pesan-pesan indah itu, saya dipersilahkan untuk memotret peta letak
makam leluhur Lebakwangi dari dekat. Bapak kuncen menjelaskan letak tiap makam
dan bagaimana masyarakat sering berkunjung untuk ziarah ke makam-makam
tersebut.
5 Pra-Satia, pedoman hidup masyarakat Bumi Alit Kabuyutan |
Setelah puas
mengobrol dengan bapa kuncen dan memotret isi situs Bumi Alit, kami melanjutkan
perjalanan ke bekas perkebunan teh dan kina Arjasari, perkebunan teh pertama di
Priangan yang dikelola oleh salah seorang Preangerplanters,
R.A. Kerkhoven, sebelum akhirnya dikalahkan oleh perkebunan teh lainnya seperti
Gambung.
Saat
melintasi daerah bekas perkebunan teh dan kina Arjasari, saya kira saya dapat
melihat paling tidak sisa perkebunan teh barang satu atau dua hektar, atau
mungkin pabrik teh dan kinanya mungkin. Tapi kenyataan memperlihatkan saya pada
luasnya areal sawah dan ladang jagung yang menyebar luas di wilayah pegunungan
dan perbukitan Arjasari. Tak ada bekas perkebunan teh sama sekali. Sangat disayangkan.
Sisa perkebunan Arjasari yang seluruhnya sudah menjadi ladang, contohnya ladang jagung ini |
Tak ada peninggalan
pabrik, rumah admin pun jadi. Saat berkeliling mencari rumah admin perkebunan
Arjasari, kami bertemu dengan penduduk setempat yang dengan baik hati mengantar
kami menuju bekas rumah admin. Lagi-lagi disayangkan, rumah admin Arjasari
sudah direnovasi beberapa kali sehingga arsitektur aslinya sudah tidak terlihat
sama sekali. Setelah dinasionalisasikan pada tahun 1957, perkebunan teh dan
kina Arjasari menjadi perkebunan sereh, dengan gudang yang berada tepat di
belakang rumah admin ini.
Bekas rumah admin perkebunan Arjasari, sudah tak ada sisa keasliannya lagi |
Lalu kami melanjutkan
perjalanan menuju situs Bukit Cula, letaknya ada di Gunung Leutik, tidak jauh
dari terminal Ciparay. Yang menjadi penanda situs Bukit Cula ini adalah
bebatuan besar di lereng bukit yang berwarna hitam legam. Selain itu terdapat
pula Monumen Culanagara dan sebuah papan yang berisi informasi administratif
mengenai Situs Bukit Cula. Berdasarkan beberapa literature, Bukit Cula
merupakan salah satu lokasi jejak kehidupan dan perjuangan Dipati Ukur di
daerah selatan Bandung. Culanagara sendiri diambil dari nama sebuah aksesoris
yang ditanggalkan oleh Dipati Ukur saat mengganti pakaiannya di Bukit Cula
untuk menyamar menjadi rakyat biasa.
Monumen Culanagara di Bukit Cula, diresmikan tahun 2012 |
Tak jauh
dari Situs Bukit Cula, terdapat pula sebuah makam yang dinamakan makam Ramogiling
oleh warga sekitar. Dari hasil obrolan dengan cucu dari sesepuh di desa ini,
ternyata selain makam Ramogiling terdapat pula makam yang cukup ‘mistis’.
Dibilang ‘mistis’ karena katanya makam tersebut dapat berubah-ubah setiap kita
mengunjunginya. Di satu waktu makam itu terlihat pendek, di waktu yang lain
makam itu akan memanjang dengan sendirinya. Makan tersebut dinamakan makam
Baranang Siang, layaknya nama sebuah perumahan yang terletak di perbatasan
antara Baleendah-Ciparay. Di antara makam Ramogiling dan Baranang Siang pun
katanya terdapat sebuah susunan batu menyerupai kursi yang saya lupa apa
namanya… Yang jelas, daerah puncak dari gunung Ramogiling ini sering disambangi
muda mudi untuk berkemah. “Cari suasana baru, daerah utara mah udah bosen,” jawab warga sekitar ketika ditanya alasan mengapa
orang banyak berkemah di sana.
Makam Ramogiling |
Situs
Ramogiling menjadi akhir dari perjalanan Ngaleut Batu Karut kami. Karena waktu
sudah menunjukkan hampir pukul 15.00 dan cuaca menunjukkan tanda-tanda hujan,
kami memutuskan untuk langsung pulang menuju Kedai Preanger dan melanjutkan
diskusi mengenai perjalanan kami di sana.
Begitu
banyak cerita dan informasi yang saya dapatkan dari Ngaleut Batu Karut.
Banyaknya interaksi dengan warga sekitar yang saya lakukan pun menambah
pengalaman saya dalam berkomunikasi dengan Bahasa Sunda yang alakadarnya.
Untungnya warga yang saya ajak mengobrol Bahasa Sunda tidak menertawakan saya
dan dengan baik hati switching dengan
Bahasa Indonesia ketika saya tidak mengerti. Begitu banyak pengetahuan dan
informasi baru yang bahkan akan terlalu panjang dan melelahkan untuk dituliskan
di sini. Tidak sabar untuk perjalanan berikutnya dengan Komunitas Aleut!
Salam dari Komunitas Aleut! |