cr pinterest |
Setelah
sekian lama tidak menulis, akhirnya dorongan untuk menulis kembali lagi. Hanya
saja, kali ini aku tidak sedang ingin menulis catatan perjalanan seperti
biasanya. Catatan perjalanan yang kali ini aku tulis cukup berbeda, namun hal
yang umum dialami dan dirasakan semua manusia. Perjalanan cinta. Cielah.
=============================================
Umur dan cinta memiliki korelasi yang
kuat, itu menurutku.
Seiring
bertambahnya umur dan pengalaman, pandangan kita mengenai ‘cinta’ berubah.
Entah ke arah positif maupun negatif. Yang jelas, umur benar-benar merubah cara
pandangku mengenai cinta; bagaimana aku melihat, memahami, merasakan, dan
mengalami cinta.
Semakin
tua, terutama mendekati pertengahan umur 20, aku semakin pesimis melihat cinta.
Aku tidak lagi melihat cinta sebagai suatu anugrah pun mencari cinta layaknya
kisah di novel dan film-film roman. Mencari pun sudah tak kulakukan lagi;
lelah. Kalau memang ada seseorang yang ditakdirkan untuk bersamaku, pasti dia
akan hadir suatu saat nanti di waktu yang tepat.
Tetapi
apabila aku pikirkan lagi, pemikiranku ini benar-benar seperti seseorang yang
sudah menginjak umur 30-an. Umur dimana ego sudah benar-benar menguasai diri,
tidak lagi dapat menerima kehadiran orang lain karena sudah terlalu nyaman
dengan ruang lingkup kehidupannya sendiri. Tidak seharusnya aku bersikap
seperti ini. Tapi nyatanya, pengalaman dan umur telah memberiku terlalu banyak
pelajaran pahit; cikal bakal matinya pohon pengharapan.
Di
sela-sela rasa penat dan lelah terhadap kehidupan percintaan, aku mencoba
menghabiskan hari-hari bersama buku; satu-satunya hal yang dapat mengajakku
kabur dari dunia abu-abu ini.
Adalah
satu buku yang berisikan tulisan-tulisan pendek mengenai cinta, penulisnya
merupakan para pegiat suatu komunitas di Korea Selatan. Belum pernah aku
membaca buku karangan penulis Korea Selata sebelumnya. Judulnya pun sederhana, Things to Know When in Love. Entah apa
yang terbesit di kepalaku sampai aku mengangkat buku tersebut dari tumpukan
buku-buku keluaran terbaru di toko buku yang tak jauh dari rumahku.
Buku
yang dikategorikan sebagai novel graphic ini menyajikan tulisan-tulisan pendek
(benar-benar pendek, bahkan ada yang satu kalimat saja) yang dikemas dengan
menarik yang penuh dengan makna.
Adapun
salah satu tulisan pertama yang aku baca dari buku tersebut, Penyebab “Semakin Berumur, Percintaan
Semakin Sulit”, yang membuat aku terperangah. Sedikit. Begini kutipannya:
“Penyebab ‘semakin berumur, percintaan semakin sulit’ hanya satu.Kau dan dia telah terlalu lihai.Telah memberikan cinta sepenuhnyadan mencurahkan seluruh perasaan, tapi akhirnya tidak menjadi apa-apa.Percintaan pun bukan lagi ‘sesuatu yang ingin dilakukan’.Tapi menjadi sesuatu yang ‘kalau bisa, bagus’ atau ‘kalau tidak bisa, apa boleh buat’.”
Hok. Rasanya ada sesuatu yang
menghujam dada saat membaca kalimat-kalimat tersebut. Benar juga. Semakin
berumur, pengalaman dalam menjalin hubungan dengan orang lain pun telah banyak
didapatkan. Pengalaman, baik itu baik maupun buruk, akan benar-benar
mempengaruhi hati kita. Pengalaman yang buruk akan membuat kita memandang cinta
sebelah mata.
Teringat
ketika salah seorang teman pernah berkata, “Menikahlah sebelum kamu menginjak
umur 30 tahun. Memasuki umur 30, kamu akan terlalu keras untuk menerima
kehadiran orang dalam hidupmu. Ego dan prinsip hidup yang sudah tertata sekian
kokohnya tidak akan mudah untuk dicampurtangani oleh pasangan nantinya. Semakin
besar kemungkinan cekcok muncul karena ego tersebut. Terlebih untuk kaum
lelaki; menjomblo sampai umur 30 akan membuat laki-laki semakin sulit mencari pasangan,
karena mereka sudah terlalu nyaman berada dalam zona kesendiriannya tersebut.”
Tetapi,
bukankah begini,
menjelang
pertengahan umur 20, kita akan lebih fokus untuk membangun diri dan karir; untuk masa depan yang lebih baik, mereka
bilang. Bagi mereka yang tidak memiliki pasangan, hal tersebut akan menjadi
tujuan utama dalam hidup; kehadiran
pasangan akan mengganggu proses menuju sukses, mereka bilang. Aku pun
berpikir seperti itu. Padahal aku tahu, kalimat itu hanyalah alasan bagi mereka
yang sudah “malas” mencari pasangan.
Bertemu
yang baru, mencoba mengenal satu sama lain dari awal. Menerima kekurangan dan
kelebihan satu sama lain. Menerima sifat-sifat satu sama lain, baik itu sesuai
dengan kita maupun tidak. Mencoba beragam hal baru yang belum pernah dilakukan
berdua. Menghadapi permasalahan yang biasa dialami pasangan layaknya roda yang
berputar. Memikirkan kembali keputusan yang telah diambil. Memikirkan apakah
hubungan layak untuk dilanjutkan atau tidak. Apabila berhasil maju, ya syukur.
Kalau tidak bisa, ya mungkin belum jodoh. Seperti itulah. Kita tahu,
menjalankan proses itu melelahkan.
Rasa
malas dan takut. Ya, takut. Takut mengalami kegagalan lagi dalam menjalankan
hubungan kiranya menjadi hal terbesar yang menjadi penyebab timbulnya rasa
malas dalam menjalin cinta.
Takut
menyakiti dan takut disakiti. Tentunya semua manusia takut akan hal tersebut.
Pada
akhirnya, semua akan menunggu. Menunggu jodohnya untuk datang tanpa perlu usaha
lebih untuk menariknya. Duduk tenang dan menanti keajaiban datang, atau
berjalan-jalan di toko buku berharap ada seseorang yang tak sengaja bertubrukan
dengan kita dan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Di
sisi lain, di seberang, entah di mana, seseorang melakukan hal yang sama dengan
kita. Menunggu sampai salah satu merobohkan tembok kemalasan dan berani
mengambil resiko untuk menyakiti dan tersakiti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar