Facebook

Senin, 25 Juli 2016

Kemah Pertama di Bumi Perkemahan Rancaupas





Sebagai seorang remaja berumur 22 tahun yang sehat walafiat dan sangat menyukai kegiatan jalan-jalan di alam terbuka, tentu saja aku sangat ingin menikmati yang namanya kemping. Iya, kemping yang itu, pasang tenda untuk bermalam di tengah hutan atau gunung atau alam terbuka lainnya, lalu memasang api unggun dan bercengkrama semalaman bersama dengan teman-teman. Sudah 22 tahun, tapi belum sekalipun aku merasakan yang namanya kemping. Menyedihkan, ya.

Berbagai hal menjadi alasan orang tuaku untuk melarangku ikut kemping, bahkan kemping yang dilaksanakan pihak sekolah atau kampus. Karena aku perempuan lah, aku mudah sakit lah, udara dingin lah, air kotor lah, binatang liar lah, ah pokoknya banyak alasannya. Sekarang, berhubung aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri, aku sedikit memaksa kedua orang tuaku untuk mengijinkanku pergi kemping bersama beberapa teman. Berbagai ucapan penuh desakan itu pun berhasil untuk membujuk orang tuaku menginjinkanku berkemah. Yaaay!

Tadinya, aku dan kelima temanku berencana untuk berkemah di Tegal Panjang, Papandayan. Alam yang indah benar-benar menarik perhatianku dan salah satu sahabatku yang gemar mengambil foto. Tegal Panjang tempat yang sangat cocok untuk hunting foto. Tapi, berhubung tempat tersebut merupakan kawasan konservasi dan illegal untuk memasukinya tanpa izin khusus, kami mengurungkan niat kami dan mencari tempat lain yang lebih dekat.

Well, sebenarnya karena restu orang tua yang tidak datang setelah aku menelpon mereka dan mengatakan akan pergi ke Tegal Panjang. “Nanti kalau kamu diserang harimau bagaimana?!”

Yowes. Gunung Puntang menjadi pilihan kedua kami. Setelah browsing kesana kemari, mencari tahu seperti apa itu Gunung Puntang dan Bumi Perkemahan Puntang, aku dan teman-teman memutuskan untuk pergi kesana. Keputusan ini diambil hanya beberapa belas jam sebelum keberangkatan. Kami memang sedikit nekad. Kami bahkan belum mempersiapkan apapun. Bahkan kami masih sibuk menghubungi penyewaan peralatan kemah yang sekiranya buka malam itu.

Sialnya, saat bangun dini hari untuk mempersiapkan keberangkatan, salah satu temanku memberitahukan bahwa area pendakian gunung Puntang ditutup untuk sementara karena longsor. Aaah, lagi-lagi rencana kami gagal. Kami terus berdebat untuk menentukan tujuan pegganti, hanya dalam waktu satu jam sebelum keberangkatan. Kami keukeuh ingin berkemah karena kami sudah meminjam tenda dan peralatan kemah lainnya. Sampai pada akhirnya, kami memutuskan untuk berkemah di tempat yang dekat dan sudah terjamin fasilitas umumnya, Bumi Perkemahan Ranca Upas. Iya, tempat kemah anak-anak SD dan Pramuka itu. Iya, yang berkemah tapi dikelilingi warung-warung Indomie yang buka 24 jam itu. Iya, tempat untuk kemping-kemping cantik itu.

Untuk menutupi kekecewaan karena hanya bisa berkemah di tempat yang tidak ada tantangannya, aku mengajak teman-teman untuk berkeliling perkebunan teh di Bandung Selatan sebelum akhirnya mencapai Ranca Upas. Aku masih ingat rute yang biasa aku lalui bersama Komunitas Aleut, tapi aku ragu karena jalanan yang cukup ekstrim dan cukup menyiksa tubuh. Setelah pertimbangan panjang dan diskusi dengan salah satu kawan di Komunitas Aleut, akhirnya aku kembali mengurungkan niat dan mengajak teman-teman melewati jalanan umum untuk mencapai Ciwidey. 

Aku memang orang yang senang mencari masalah selama perjalanan. Aku tidak menikmati perjalanan yang dekat dan cepat; bukan hanya tempat tujuan yang ingin aku nikmati, tapi juga perjalanannya. Karena itu, aku mengajak teman-teman untuk mampir sebentar ke Situ Patenggang sebelum memasuki kawasan Rancaupas.

Sebenarnya, kawasan Situ Patenggang ini lebih jauh 15 menit dari kawasan Rancaupas. Ketika kami berhenti sebentar di depan gerbang masuk Rancaupas, terlihat wajah-wajah lelah dan mengantuk dari teman-teman ketika aku meyakinkan mereka untuk meneruskan perjalanan ke Situ Patenggang. Namun, kunjungan kami kesana tidak disesali sama sekali. Indahnya pemandangan dan serunya obrolan selama berjalan-jalan di sana benar-benar menyegarkan tubuh.
 
Kami tidak berlama-lama di sana karena hari sudah semakin gelap dan akan sulit bagi kami untuk membangun tenda ketika hari sudah gelap. Tapi tetap saja, karena terdistraksi oleh jagung bakar di pinggir jalan, ujung-ujungnya kami sampai di Rancaupas lepas magrib. Alhasil, kami harus memasang tenda gelap-gelapan sambil sibuk meributkan soal tongkat besi mana yang harus dimasukkan ke lubang mana. Enam anak muda, gelap-gelapan memasang tenda, sibuk ribut sana sini soal tongkat dan lubang, alay memang. 

Setelah berhasil memasang tenda, perut-perut anak remaja ini bergejolak kelaparan. Kebetulan salah seorang teman membawa beberapa bungkus mie instan untuk dimasak. Aku pun sengaja meminjam kompor portable untuk memasak air dan beberapa makanan lainnya. Karena tidak tahu cara menyalakan kompor portable seperti itu, aku meminta salah seorang temanku untuk menyalakannya. Lalu, alamak… memang teman-temanku ini lucu nian, bukannya berhasil menyalakan kompor, mereka malah merusak kompor itu. Alhasil kami gagal masak dan memutuskan untuk makan di warung kopi tak jauh dari tenda.

Tegar dan Pace, dua oknum utama yang bikin semuanya gagal makan

 Puas makan, aku merasa ngantuk parah. Ditambah langit mendung yang tak menunjukkan bintangnya sama sekali, aku memutuskan untuk kembali ke tenda duluan untuk mempersiapkan lahan api unggun. Perjuangan menyalakan api unggun pun tidak mudah karena kayu yang temanku beli itu basah. Ingin rasanya menggetok kepala teman-temanku itu satu persatu. Hampir 2 jam kami berusaha menyalakan api sambil bercerita satu sama lain. Dari mulai cerita horror, cerita konyol sepanjang perjalanan, sampai curhat tentang tambatan hati masing-masing.



Puas bercerita, kenyang setelah makan malam, udara dingin ditambah dengan kehangatan api unggun, kelopak mata terasa semakin berat. Waktu menunjukkan pukul 02.00. Aku dan teman-teman memutuskan untuk tidur karena ingin bangun pagi buta untuk mengejar kabut. Tak disangka-sangka, hujan turun dan menghantarkan udara dingin yang amat sangat. Dua lapis jaket, dua lapis kaos kaki, dan bungkusan sleeping bag tidak cukup untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk. Untungnya tubuh ini terbiasa untuk menyukai hawa dingin; ketika teman-teman yang lain ribut karena kedinginan, aku tidur nyenyak sampai subuh.

Saat bangun di pagi buta, sesaat sebelum adzan Shubuh berkumandang, aku mengawang memikirkan segala hal yang telah dilalui kemarin. Kalau dipikir-pikir, ini pengalaman kemah yang lumayan kacau juga. Gagal memasak, gagal makan, gagal bikin api unggun dengan mudah, gagal melihat bintang, dan gagal melihat sunrise karena kabut super tebal. Tapi, buatku yang baru pertama kali berkemah seperti ini, pengalaman ini tetap menjadi salah satu pengalaman yang paling menyenangkan dan tak akan terlupakan seumur hidupku.

Mau kemping lagi? Mau banget! Tapi sepertinya aku harus mempersiapkannya dengan sangat matang supaya tidak gagal lagi seperti kemping kali ini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar