Sebagai seorang remaja berumur 22 tahun yang
sehat walafiat dan sangat menyukai kegiatan jalan-jalan di alam terbuka, tentu
saja aku sangat ingin menikmati yang namanya kemping. Iya, kemping yang itu,
pasang tenda untuk bermalam di tengah hutan atau gunung atau alam terbuka
lainnya, lalu memasang api unggun dan bercengkrama semalaman bersama dengan
teman-teman. Sudah 22 tahun, tapi belum sekalipun aku merasakan yang namanya
kemping. Menyedihkan, ya.
Berbagai
hal menjadi alasan orang tuaku untuk melarangku ikut kemping, bahkan kemping
yang dilaksanakan pihak sekolah atau kampus. Karena aku perempuan lah, aku
mudah sakit lah, udara dingin lah, air kotor lah, binatang liar lah, ah
pokoknya banyak alasannya. Sekarang, berhubung aku sudah cukup dewasa untuk
menjaga diriku sendiri, aku sedikit memaksa kedua orang tuaku untuk
mengijinkanku pergi kemping bersama beberapa teman. Berbagai ucapan penuh
desakan itu pun berhasil untuk membujuk orang tuaku menginjinkanku berkemah.
Yaaay!
Tadinya,
aku dan kelima temanku berencana untuk berkemah di Tegal Panjang, Papandayan.
Alam yang indah benar-benar menarik perhatianku dan salah satu sahabatku yang
gemar mengambil foto. Tegal Panjang tempat yang sangat cocok untuk hunting foto. Tapi, berhubung tempat
tersebut merupakan kawasan konservasi dan illegal untuk memasukinya tanpa izin
khusus, kami mengurungkan niat kami dan mencari tempat lain yang lebih dekat.
Well,
sebenarnya karena restu orang tua yang tidak datang setelah aku menelpon mereka
dan mengatakan akan pergi ke Tegal Panjang. “Nanti kalau kamu diserang harimau
bagaimana?!”
Yowes. Gunung Puntang menjadi pilihan
kedua kami. Setelah browsing kesana
kemari, mencari tahu seperti apa itu Gunung Puntang dan Bumi Perkemahan
Puntang, aku dan teman-teman memutuskan untuk pergi kesana. Keputusan ini
diambil hanya beberapa belas jam sebelum keberangkatan. Kami memang sedikit
nekad. Kami bahkan belum mempersiapkan apapun. Bahkan kami masih sibuk
menghubungi penyewaan peralatan kemah yang sekiranya buka malam itu.
Sialnya,
saat bangun dini hari untuk mempersiapkan keberangkatan, salah satu temanku
memberitahukan bahwa area pendakian gunung Puntang ditutup untuk sementara
karena longsor. Aaah, lagi-lagi rencana kami gagal. Kami terus berdebat untuk
menentukan tujuan pegganti, hanya dalam waktu satu jam sebelum keberangkatan.
Kami keukeuh ingin berkemah karena
kami sudah meminjam tenda dan peralatan kemah lainnya. Sampai pada akhirnya,
kami memutuskan untuk berkemah di tempat yang dekat dan sudah terjamin
fasilitas umumnya, Bumi Perkemahan Ranca Upas. Iya, tempat kemah anak-anak SD
dan Pramuka itu. Iya, yang berkemah tapi dikelilingi warung-warung Indomie yang
buka 24 jam itu. Iya, tempat untuk kemping-kemping cantik itu.
Untuk
menutupi kekecewaan karena hanya bisa berkemah di tempat yang tidak ada
tantangannya, aku mengajak teman-teman untuk berkeliling perkebunan teh di
Bandung Selatan sebelum akhirnya mencapai Ranca Upas. Aku masih ingat rute yang
biasa aku lalui bersama Komunitas Aleut, tapi aku ragu karena jalanan yang
cukup ekstrim dan cukup menyiksa tubuh. Setelah pertimbangan panjang dan
diskusi dengan salah satu kawan di Komunitas Aleut, akhirnya aku kembali
mengurungkan niat dan mengajak teman-teman melewati jalanan umum untuk mencapai
Ciwidey.
Aku
memang orang yang senang mencari masalah selama perjalanan. Aku tidak menikmati
perjalanan yang dekat dan cepat; bukan hanya tempat tujuan yang ingin aku
nikmati, tapi juga perjalanannya. Karena itu, aku mengajak teman-teman untuk
mampir sebentar ke Situ Patenggang sebelum memasuki kawasan Rancaupas.
Sebenarnya,
kawasan Situ Patenggang ini lebih jauh 15 menit dari kawasan Rancaupas. Ketika
kami berhenti sebentar di depan gerbang masuk Rancaupas, terlihat wajah-wajah
lelah dan mengantuk dari teman-teman ketika aku meyakinkan mereka untuk
meneruskan perjalanan ke Situ Patenggang. Namun, kunjungan kami kesana
tidak disesali sama sekali. Indahnya pemandangan dan serunya obrolan selama
berjalan-jalan di sana benar-benar menyegarkan tubuh.
Kami
tidak berlama-lama di sana karena hari sudah semakin gelap dan akan sulit bagi
kami untuk membangun tenda ketika hari sudah gelap. Tapi tetap saja, karena
terdistraksi oleh jagung bakar di pinggir jalan, ujung-ujungnya kami sampai di
Rancaupas lepas magrib. Alhasil, kami harus memasang tenda gelap-gelapan sambil
sibuk meributkan soal tongkat besi mana yang harus dimasukkan ke lubang mana.
Enam anak muda, gelap-gelapan memasang tenda, sibuk ribut sana sini soal
tongkat dan lubang, alay memang.
Setelah
berhasil memasang tenda, perut-perut anak remaja ini bergejolak kelaparan. Kebetulan
salah seorang teman membawa beberapa bungkus mie instan untuk dimasak. Aku pun
sengaja meminjam kompor portable untuk memasak air dan beberapa makanan
lainnya. Karena tidak tahu cara menyalakan kompor portable seperti itu, aku
meminta salah seorang temanku untuk menyalakannya. Lalu, alamak… memang
teman-temanku ini lucu nian, bukannya berhasil menyalakan kompor, mereka malah
merusak kompor itu. Alhasil kami gagal masak dan memutuskan untuk makan di
warung kopi tak jauh dari tenda.
Tegar dan Pace, dua oknum utama yang bikin semuanya gagal makan |
Puas
makan, aku merasa ngantuk parah. Ditambah langit mendung yang tak menunjukkan
bintangnya sama sekali, aku memutuskan untuk kembali ke tenda duluan untuk
mempersiapkan lahan api unggun. Perjuangan menyalakan api unggun pun tidak
mudah karena kayu yang temanku beli itu basah. Ingin rasanya menggetok kepala
teman-temanku itu satu persatu. Hampir 2 jam kami berusaha menyalakan api
sambil bercerita satu sama lain. Dari mulai cerita horror, cerita konyol
sepanjang perjalanan, sampai curhat tentang tambatan hati masing-masing.
Puas
bercerita, kenyang setelah makan malam, udara dingin ditambah dengan kehangatan
api unggun, kelopak mata terasa semakin berat. Waktu menunjukkan pukul 02.00. Aku
dan teman-teman memutuskan untuk tidur karena ingin bangun pagi buta untuk
mengejar kabut. Tak disangka-sangka, hujan turun dan menghantarkan udara dingin
yang amat sangat. Dua lapis jaket, dua lapis kaos kaki, dan bungkusan sleeping
bag tidak cukup untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk. Untungnya tubuh ini
terbiasa untuk menyukai hawa dingin; ketika teman-teman yang lain ribut karena
kedinginan, aku tidur nyenyak sampai subuh.
Saat
bangun di pagi buta, sesaat sebelum adzan Shubuh berkumandang, aku mengawang
memikirkan segala hal yang telah dilalui kemarin. Kalau dipikir-pikir, ini
pengalaman kemah yang lumayan kacau juga. Gagal memasak, gagal makan, gagal
bikin api unggun dengan mudah, gagal melihat bintang, dan gagal melihat sunrise
karena kabut super tebal. Tapi, buatku yang baru pertama kali berkemah seperti
ini, pengalaman ini tetap menjadi salah satu pengalaman yang paling menyenangkan
dan tak akan terlupakan seumur hidupku.
Mau
kemping lagi? Mau banget! Tapi sepertinya aku harus mempersiapkannya dengan
sangat matang supaya tidak gagal lagi seperti kemping kali ini :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar