NGALEUT: BASA BANDUNG HALIMUNAN
Mengenang
masa lalu, terutama masa kecil, memang selalu menyenangkan. Banyak hal-hal yang
dapat kita tertawakan di saat kita beranjak dewasa; kebanyakan mempertanyakan
kebodohan-kebodohan yang telah diperbuat saat kita kecil dahulu. Membandingkan
keadaan dahulu dan sekarang, dari mulai sifat perilaku sampai dengan lingkungan
tempat tinggal. Pahit manisnya kenangan itu tentunya menjadi satu rasa
tersendiri, yang akan semakin lengkap apabila dituangkan ke dalam satu tulisan.
Adalah
H. Us Tiarsa R. yang menuliskan pengalaman masa kecilnya di Kota Bandung pada
tahun 50-60an dalam sebuah buku yang berjudul “Basa Bandung Halimunan”, atau
dalam Bahasa Indonesia “Kala Bandung Berkabut”. Buku tersebut ditulis dalam
Bahasa Sunda keseharian dan disajikan dengan gaya bahasa yang membawa
pembacanya mengalir ke dalam penuturannya mengenai Bandung di masa lalu.
Bersama
dengan Komunitas Aleut, saya dan teman-teman menelusuri beberapa titik di Kota
Bandung yang ada di dalam buku Basa Bandung
Halimunan hari Minggu (3/4/2016) kemarin. Hari itu kami fokus di kawasan
Kebon Kawung, menyusuri wilayah Jl. H. Mesri, Cicendo, dan Kebon Sirih. Rasanya
lucu, ngaleut di kawasan yang
notabene hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah, dan tentunya
setiap hari saya lewati. Tapi disinilah letak keseruan ngaleut, dari rute yang saya biasa sambangi sehari-hari, selalu ada
hal baru yang saya ketahui. Contohnya adalah rumah Alm. Haryoto Kunto yang
berada di Jl. H. Mesri. Ternyata rumah dari “Bapak-nya Bandung” ini berjarak
sangat dekat dari rumah saya. For all
this time, I just realized it. What a
shame.
Kumpul di depan rumah Alm. Haryoto Kunto |
Selain
itu, kami berjalan sedikit menuju belakang GOR Pajajaran, dan melihat sebuah
pohon yang menjadi saksi sejarah penamaan daerah Kebon Kawung. Ya, pohon kawung. Mungkin ini pertama kalinya saya
melihat pohon kawung dari dekat, tepat di lokasi yang dulunya memang merupakan
kebun kawung. Tidak lupa sebuah kolam di sebelah pohon tersebut yang jaman baheula biasa digunakan untuk merendam
anak-anak laki-laki yang mau disunat sampai bagian bawah tubuh mereka baal (mati rasa). Tidak terbayangkan
oleh saya, para anak lelaki yang sedari subuh sudah disuruh berendam selama
berjam-jam sampai mereka mati rasa sebelum akhirnya disunat dengan cara yang
masih sangat tradisional. Euh, menuliskannya saja sudah membuat saya ngilu,
padahal saya perempuan.
Pohon Kawung |
Hal
menarik lainnya yang saya rasakan adalah pengalaman menelusuri gang-gang yang
sangat amat sempit di daerah Cicendo. Bukannya saya tidak pernah menelusuri
gang, hanya saja ini kali pertama saya ngaleut
melintasi perumahan padat warga di gang yang amat sangat sempit seperti
itu. Sempat muncul rasa khawatir akan terganggunya para warga ketika rombongan
Aleut melintas, tapi untungnya warga tidak terlihat terganggu ataupun sebagainya.
Saya terkagum-kagum melihat kehidupan warga yang tinggal di gang seperti itu;
kegiatannya, interaksinya, perilakunya. Sebagai seseorang yang semenjak lahir
tinggal di daerah individualis dengan rumah yang berlokasi di pinggir jalan
besar, jarang sekali saya berinteraksi dengan tetangga seperti halnya
masyarakat di gang seperti itu. Rasa iri sempat terbesit di dalam hati saya kian
makin membesar ketika mendengar pengalaman masa kecil teman-teman saya yang
sangat menyenangkan.
Di
sesi sharing banyak teman yang bercerita mengenai pengalaman masa kecilnya yang
beragam, dan juga menyenangkan. Apalagi mereka yang menghabiskan masa kecilnya
di luar kota Bandung, atau mereka yang berusia lebih tua dari saya, yang sempat
menikmati indahnya Bandung ketika masih berkabut di pagi hari. Sedangkan saya?
Sedari kecil sudah dihadapkan pada sumpeknya kota Bandung—tentunya belum
sesumpek saat ini—dan interaksi sosial antara tetangga yang individualis. Masa
kecil saya habiskan dengan membaca buku di dalam rumah, jarang bermain dengan
teman sebaya. Karena itu, hari Lebaran, dimana saya dan keluarga pergi ke rumah
kerabat di Sumedang, merupakan saat yang paling saya tunggu, semata-mata hanya
untuk memandang indahnya pegunungan dan hamparan ladang sawah sepanjang jalan.
Meskipun tidak memiliki banyak pengalaman masa kecil yang bersinggungan dengan
keadaan kota Bandung masa lalu yang indah, saya cukup senang mendengar
penuturan mengenai kisah-kisah masa kecil dari teman-teman Aleut yang lain. Nah,
inilah hal menyenangkan lainnya dari ngaleut,
bercerita dan mendengarkan cerita, terlebih lagi apabila kisah-kisah perjalanan
dan kenangan itu dapat dituliskan dan dibagikan.
"Rasanya lucu, ngaleut di kawasan yang notabene hanya berjarak beberapa ratus kilometer dari rumah, dan tentunya setiap hari saya lewati." Jauh dong..:-)
BalasHapuswah betul juga.. baru sadar. terima kasih koreksinya :D
Hapus