Sepatu sneakers sudah menjadi bagian dari
hidupku. Dari jaman masih duduk di bangku SD sampai dengan lulus kuliah, sepatu
sneakers tidak pernah hilang dari rak sepatu (ya of course beli baru setiap 1-2 tahun sekali). Pergi ke sekolah,
kampus, mall, tempat-tempat wisata lainnya, sepasang sneakers selalu menemani; well, walaupun kehadirannya seringkali
tergantikan oleh flat shoes dan heels di beberapa acara tertentu.
Buatku, memakai sneakers bahkan lebih nyaman daripada memakai running shoes. Karenanya, sneakers
selalu jadi pilihanku ketika melakukan perjalanan jauh-dekat, basah-kering,
menanjak-menurun.
Di hari Minggu 14 Agustus 2016 silam, aku dan
rekan-rekan dari Komunitas Aleut melakukan perjalanan menuju Sanghyang Heuleut
yang berada di daerah PLTA Saguling, Rajamandala, Kab. Bandung Barat. Di rumah
aku sempat terdiam barang 10 menitan, memikirkan alas kaki apa yang harus
kupakai hari itu. Aku sama sekali tidak tahu kondisi jalanan seperti apa yang
akan aku hadapi. Hmm.. sandal gunung atau
sneakers? Tapi nanti kaki gosong karena momotoran, sneakers aja deh. Ya,
hanya karena alasan takut kaki gosong kepanasan, aku pilih sneakers. Pathetic.
Perjalanan hari itu lumayan panas. Dalam hati
aku bersyukur karena memakai sneakers. Alhamdulillah,
at least kaki gak gosong, pikirku sambil memandang lokasi pertama
perjalanan kami, Shanghyang Tikoro. Yap, untuk mencapai Shanghyang Heuleut, ada
dua lokasi shanghyang-shanghyang yang kami lewati. Shanghyang Tikoro ini,
shanghyang pertama, merupakan sebuah gua yang di dalamnya mengalir sungai
menuju bawah tanah. Shanghyang Tikoro seringkali dikaitkan dengan legenda Danau
Bandung Purba. Terlepas dari benar atau tidaknya perihal tersebut, Shanghyang
Tikoro layak untuk dikunjungi. Coba deh kesana dan perhatikan mulut gua
tersebut. Seperti mulut orang yang menganga lebar dengan aliran sungai yang
seperti air minum, masuk ke tenggorokan dan pergi entah kemana.
Puas mendengarkan pemaparan tentang
Sanghyang Tikoro dari Pak Abang, aku dan teman-teman meneruskan perjalanan ke
Sanghyang Heuleut. Setelah sebelumnya ngobrol-ngobrol dengan para pedagang
sekitar, muncullah keyakinan bahwa lokasi tujuan dapat ditempuh kurang lebih
1,5 jam saja. Terlena dengan jalanan aspal yang membentang di depan mata, aku
kira jalanan menuju Sanghyang Heuleut memang akan selalu semulus itu. Kan jadi
ingin ketawa ya…
Memasuki kawasan belakang pipa besar PLTA
Saguling, kami mulai berjalan di pinggiran melawan arus sungai. Jalanan tentu
saja tidak beraspal dan semulus tadi. Tanah, bebatuan, dan rumput menjadi
pemanis wajib jalanan yang kami lewati. Wajar tentunya, tapi karena semalam
hujan, ada beberapa titik yang licin dan tergenang air. Cukup untuk membuatku loncat-loncat
kecil demi menghindari sepatu basah atau kotor kena lumpur. Nah, setelah kurang
lebih berjalan sejauh 1KM di tengah udara panas ngaheab, kami bertemu dengan Shanghyang Poek, sanghyang yang
kedua.
Sanghyang Poek merupakan sebuah gua purbakala
yang terbentuk di kawasan batu gamping. Bentuknya landscape miring-miring gimana gitu, jadi ketika kami masuk ke
dalamnya, seringkali kami harus berjalan sambil menunduk. Di dalamnya, terdapat
stalakmit dan stalaktit yang buricak
burinong kayak berlian… Berkelap-kelip indah, apalagi ketika terkena sinar
lampu/senter. Gua ini gelap, banget, dan licin, banget. Terhitung tiga empat
kali aku tergelincir ketika berjalan di dalam gua. Ya tas berat, ya harus
pegang senter, ya sneakers licin… Mulai timbul penyesalan mengapa tadi pagi
tidak pada sandal gunung saja… Ah, tapi banyak juga kok yang tergelincir.
Berarti bukan masalah sepatunya, emang bebatuannya saja yang licin.
Di ujung gua, cahaya matahari menerobos,
menyesuaikan mata dengan pemandangan sungai dan bebatuan yang menakjubkan. Yah,
sayang sekali kemarin malam hujan, jadi air tidak begitu jernih. Tapi tetap
saja, buatku pemandangan seperti ini baru bisa kunikmati setelah 22 tahun
lamanya hidup di dunia. Tak lama menikmati pemandangan aliran sungai, beberapa
orang di depan memanggil untuk turun ke bawah, ke sungai. Yap, ke sungai.
Ternyata, untuk mencapai Shanghyang Heuleut, kami harus melewati sungai ini.
Loncat sana sini, menghindari air sana sini,
menapaki batu sana sini, semuanya aku lakukan dengan penuh debaran. Bebatuan
licin karena semalam hujan. Aliran air pun terlihat lebih deras dari biasanya. Aku
takut tergelincir, takut jatuh. Kalau nanti jatuh, terus basah, terus sakit,
terus benjol, gimana? Kalau sneakersku basah, gimana? Aku tidak membawa sandal,
karena itu dag-dig-dug rasanya sepanjang perjalanan. Tapi memang dasar namanya
Chika, sehati-hati apapun, pasti jatuh juga. Bukan rasa sakit atau malu yang
aku rasakan; lucu. Saking lucunya, saat terbangun dari jatuh, aku dan Akay
malah tertawa keras. Duh, memang dasar olegun.
Tenang, aku tidak akan menyalahkan siapapun
untuk rute perjalanan luar biasa menuju Sanghyang Heuleut ini. Seharusnya,
berdasarkan pengalaman miris sebelumnya, aku harus siap sedia memakai sandal
gunung di setiap perjalanan. Gak usahlah sok tampil kece dengan sneakers. Toh
ujung-ujungnya berlumpur, ujung-ujungnya basah, ujung-ujungnya pulang dimarahin
mamah. So, untuk para pembaca yang mau mencapai Shanghyang Heuleut dari
Sanghyang Poek, gunakanlah alas kaki terbuka dan anti selip, yah. Budayakan
sandal gunung!
“Berapa puluh menit lagi kira-kira, Bang?”
tanyaku sambil mencuci sepatu di pinggiran sungai untuk kali pertama seumur
hidup, sementara yang lain beristirahat di sebuah warung.
“Yah sekitar 20-30 menit lagi lah dari sini.”
Katanya, terdengar menenangkan dan meyakinkan. Ah, tapi memang dasar,
seharusnya aku tahu perjalanan tidak akan secepat dan semudah yang
dikatakannya. Lebih dari 40 menit kami berjalan, mendaki, melewati hutan,
bebatuan, aliran sungai, aliran keringat, aliran keluhan dan sumpah serapah…
sampai pada akhirnya kami melihat sebuah tempat yang dipenuhi orang-orang
lengkap dengan warung di pinggirannya. Ah, Sanghyang Heuleut!
Jadi, Sanghyang Heuleut ini merupakan sebuah
danau kecil indah yang tersembunyi di antara gunung di kawasan PLTA Saguling.
Legendanya sih, ini adalah danau tempat dayang sumbi dan bidadari-bidadari
lainnya mandi tuh… Karena keindahannya, banyak orang yang sengaja mau
capek-capek datang kemari. Itu tuh, traveller gaul di Instagram kan banyak yang
posting foto Sanghyang Heuleut yang indah banget itu… Sayangnya, kami datang
setelah hujan cukup deras semalam. Karena itu, kami harus cukup puas hanya
dengan bermain air dan bercengkrama melepas rasa lelah dari perjalanan tadi.
Karena hari sudah semakin sore, kami
memutuskan untuk segera pulang sebelum jalanan menjadi gelap. Berat rasanya
untuk meninggalkan Sanghyang Heuleut. Well,
berat rasanya menapaki kembali jalanan jahanam itu. Rasanya tenaga terkuras
habis hanya dengan memikirkan perjalanan pulang. Untungnya, kami sepakat untuk
melalui jalan kedua (tidak melewati sungai) untuk kembali ke parkiran.
Jalanannya melintasi gunung, katanya. Aku tersenyum memandang sneakersku, kamu ga akan kotor dan basah lagi,
Alhamdulillah. Bye sungai dan
bebatuan jahanam~
Kutarik lagi ucapan syukur yang sebelumnya
aku ucapkan. Perjalanan pulang kami lebih mengerikan dari perjalanan perginya!
Jalanan menanjak yang tak ada habisnya harus kami lewati sepanjang perjalanan.
Naik, naik, naik, dan terus naik sampai keringat dan nafas habis. Yang muda dan
berbadan kecil terus berada di depan, yang sudah berumur dan jarang olahraga
tertinggal jauh di bawah. Rasa lelah perjalanan pergi yang masih tersisa 50%
bertambah 150% karena jalan menanjak itu. Mengingatnya saja membuatku lelah dan
pegal…
Keluar dari jalur pendakian, kami berada jauh
di atas pipa-pipa besar PLTA. Kemiringan 45o yang membuat kepala
pusing luar biasa harus aku tahan supaya tidak jatuh terguling. Oleng sedikit,
bisa gawat. Kelompokpun terbagi dua, mereka yang pergi melalui jalur ke atas,
dan mereka yang ambil cepet menuju jalur bawah… Sebagai anak muda yang tak
boleh takut akan hal baru, aku coba jalur bawah. Dah hasilnya?? Mual. Capek,
mual, pusing, haus, berkeringat, kaki lecet karena pake sneakers basah tanpa
kaos kaki, tas berat… Ya ampun Chika, jadi anak kota gini-gini amat sih.
Well,
Setelah perjalanan parkiran-Sanghyang
Heuleut-parkiran yang mengenaskan itu, walaupun sudah 2 minggu lamanya berlalu,
masih terbayang setiap langkahnya di pikiran. Licinnya, gelapnya, panasnya,
jauhnya, menanjaknya, basahnya, pusingnya, jatuhnya, keindahannya,
kesegarannya, segalanya.
Ketika mendengar pengalaman perjalananku,
teman-teman sering bertanya, “Kok kamu bisa sih kayak gitu, Chik?? Aku sih ga
akan kuat da mau pulang aja.” Yah, akupun tidak tahu. Kadang merasa diri ini
bego dan olegun. Tapi tanpa perjalanan seperti itu, hidup sepertinya akan sarat
akan kenangan. Tidak akan ada hal yang dikenang dan ditertawakan bersama teman
seperjalanan. Tidak akan ada teguran
khawatir dari mamah yang hariwang
setiap aku pulang ke rumah dalam keadaan mengenaskan. Tidak akan ada cemberut
sambil nyikat sneakers yang semakin hari warnanya semakin luntur karena
keseringan dicuci.
Yang jelas, tanpa perjalanan dan kenangan
itu, tidak akan ada tulisan dan pengalaman untuk dibagikan. Karena
perjalanan-perjalanan si anak kota yang penuh kebodohan itulah, blog ini ada
dan terus hidup.