"Panggil
aja Wen, Pak Wen. Hehe." jelasnya sembari tertawa kecil saat kutanya
namanya. Bapak penjual rujak tumbuk ini mulai memotong buah-buahan yang dia
ambil dari kotak.
Di
depan Kedai Preanger, Jl. Solontongan 20D, inilah aku bertemu dengan seseorang
yang kutetapkan layak menjadi sosok mulia KNB. Terima kasih pada Pak Ridwan
yang memanggil Pak Wen ini dari dalam kedai, aku berkesempatan untuk berbincang
mengenai perjalanan hidupnya, walau hanya sebentar.
"Kalau
di sini mah cuma bapak Ridwan aja yang beli rujak bapak, neng. Yang lain mah ga
ada yang mau..." ujar Pak Wen tiba-tiba saat aku sedang asyik melihatnya
menumbuk buah. Aku tersenyum sedih mendengarnya.
Sudah
19 tahun lamanya beliau berjualan rujak tumbuk. Sendirian di Kota Bandung tanpa
keluarga, Pak Wen hanya dapat pulang 2 bulan sekali ke kota asalnya Garut
ketika ada rejeki. "Itupun palingan 2 hari, neng. Da di sana mah bapak
gabisa kerja begini... Malu sama tetangga. Malu sama cucu bapak."
Dari 9
orang anak yang dia miliki, beliau sudah memiliki 13 cucu. Namun hanya 2 anak
yang tetap tinggal bersama dengan istrinya di Garut. "Yah yang lainnya
mah... ya gitu we neng.. pokoknya cuma dua yang tinggal sama bapa sama
ibu." jawab Pak Wen saat kutanya perihal sembilan anaknya.
Bertempat
tinggal di Jl. Maleer, Gatot Subroto, Pak Wen tidur berdesak-desakan dengan 8
orang lainnya di sebuah ruangan 4x4meter. Keseluruhannya adalah penjual rujak
tumbuk juga. Iuran kontrakan sebesar 1 juta perbulan harus mereka bayar dengan
berpatungan. Kalau tak begitu, tak tahu harus dimana mereka tidur.
Lahir
di tahun 1943, umurnya yang menginjak 73 tahun tak jadi alasan untuk berhenti
bekerja. "Ya, uang mah dicukup-cukupin aja lah neng. Ya gimana da cuma
gini jualan bapak mah." Yap, dari seporsi rujak tumbuk yang dia jual, tak
besar keuntungan yang dia dapatkan. Itu pun masih harus dia bagi untuk bayar
kontrakan, makan sehari-hari, membeli buah-buahan lagi, pulang ke Garut, dan
diberikan pada istri.
"Pak,
itu tangan dan kakinya... Kenapa?" tanyaku khawatir saat melihat kondisi
kulit dan tangannya.
"Ah.
Bapak pernah dagang gorengan tahun 84. Pas lagi bawa katel isi minyak panas,
aya barudak ti pengker. Nabrak bapak dari belakang te. Si katel tumpah, ya
badan bapak kebanjur minyak panas. Bapak gabisa ngapa-ngapain selama 2 tahun...
Stress bapak.." jawabnya sambil mengelus tangan dan kakinya.
Tak
banyak yang aku bicarakan dengan beliau. Bahkan tak teringat untuk melihat
KTP-nya. Perasaan miris terus datang seiring berbicara dengan Pak Wen.
"Bapak,
nanti kalau lewat sini lagi dan ada saya atau Pak Ridwan mah, masuk aja ya
pak... Bisi ga keliatan. Hatur nuhun, Pak. Sing lancar usahana... Rejekina
lancar..." ujarku menutup pembicaraan dengan Pak Wen.
"Muhun,
neng. Hatur nuhun pisan." jawabnya sambil menanggul kembali tanggungannya
dan berjalan menuju rute dagang selanjutnya, daerah Lodaya.
Pertemuan
Senja itu, bersama Pak Wen.
Chika
Aldila
Kamis,
18 Agustus 2016.
15.40
WIB.
Solontongan,
Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar